Tadi sore saya berkesempatan untuk WFC (Work From Cafe) di salah satu cafe terkenal yang banyak orang ngopi di sini. Sejujurnya saya memang tidak merasa ngopi di sini itu enak, tapi karena lokasinya yang dekat dengan sekolah anak saya, ya sudah saya kerja di sana sekalian nunggu waktu anak sekolah ditambah lagi memang saya butuh waktu untuk bertapa memikirkan masa depan perusahaan.
Saya sudah lama tidak ngopi di sini. Di kantor sebelumnya terdapat cafe ini di lantai paling dasar, dan banyak teman kantor yang rutin membeli kopi di sini. Bahkan ada satu yang ngopi di sini seperti minum obat, pagi dan sore. Saya ingat kalau minum kopi di sana, saya masih merasa bahwa rasa kopinya nggak istimewa, cenderung nggak enak malah. Saya pun konfirmasi dengan teman saya yang langganan di sana. Lucunya, dia bilang kalo kopi di sana tuh nggak enak. Lha… ngapain beli setiap hari kalo begitu? Jawabnya sederhana: gaya aja pegang cup dengan logo mermaid hijaunya itu.
Saya pun melihat cukup banyak yang menjadi fanatik brand ini. Baik menkoleksi tumblernya, mauopun rutin bekerja dan bertemu orang di sana. Memang kalau merasakan bertemu di cafe ini, rasanya gaya aja gitu. Rasanya kekinian, nggak kelewatan trend meeting di cafe terkemuka. Dalam banyak case study, brand ini sering mendapatkan pujian sebagai brand yang sukses. Kenapa sukses? Karena ternyata brand ini awal mulanya yang hanya menjual biji kopi saja, terus bertransformasi menjadi brand yang membuat kopi menjadi gaya hidup. Saya pernah mendengar sebuah video yang bilang bahwa cafe ini tidak menjual rasa kopi yang istimewa sebagai nilai jualnya. Yang dijualnya adalah pengalaman minum kopi di tempatnya. Saya juga pernah mendengar bahwa cafe ini punya ambisi menjadi “rumah ke dua” bagi orang. Pelayannya tidak akan mengusir kita jika kita seharian nongkrong di sini buka laptop kerja. Karena mereka memang memposisikan dirinya sebagai rumah kedua itu tadi.
Tapi apakah brand ini sustainable? Saya membaca bahwa akhir-akhir ini brand ini mendapatkan tantangan. Bahkan di beberapa negara, brand ini sulit survive. Ada lagi issue tentang bagaimana mereka memperlakukan karyawannya, yang dulunya awalnya “nge-wongke”, jadi tidak seperti itu lagi. Kalo seorang sahabat yang paham kopi, biasanya memang nggak mau ngopi di sini, karena memang rasanya nggak istimewa.
Memang cafe ini ditujukan bagi orang yang ingin gaya saja. Dengan harganya yang relatif mahal, posisinya jelas bahwa yang suka dengan cafe ini adalah orang-orang yang relatif kaya saja. Apalagi dalam beberapa kesempatan, saya selalu merasa tertipu dengan adanya hidden cost… ya mungkin karena saya nggak sekaya itu, dan kurang teliti dalam membeli. Dengan pengalaman yang saya rasakan di sini, harga yang jauh lebih mahal dibandingkan dengan cafe lain, dengan rasa yang jauh dari istimewa (bahkan cenderung nggak enak). Suasana cafe yang lumayan keren namun duduk di sini ternyata nggak enak lama-lama, sepertinya saya nggak ingin lagi nongkrong di sini lagi. Mending saya memilih minum kopi gayo dengan rasa yang jauh lebih nikmat dengan harga yang jauh lebih murah. Memang saya bukanlah target marketnya cafe ini, karena saya bukanlah orang kaya, tapi saya adalah orang yang menggunakan logika dalam memilih produk.

Tinggalkan komentar