Suatu hari mentor saya bertanya: “Di hari pertama kamu mempimpin, apa yang akan kamu lakukan?”. Saya pun sontak menjawab: “Buat perencanaan kerja”. “Salah!” sambut beliau. “Buat strategi?” saya coba menjawab. “Salah juga!” tegas beliau. Saya pun bingung, mau jawab apa lagi. Melihat kebingungan saya tersebut, beliau akhirnya menjawab: “Cari calon penggantimu!”.
Saya sempat bingung, saya kan baru jadi pemimpin di organisasi itu, masa udah harus cari pengganti saya? Beliau langsung menjelaskan, “Kalo kamu sudah menyiapkan calon pengganti, kamu dengan mudah naik ke atas, atau pindah ke tempat lain”. Memang paradox menjadi orang yang sangat kompeten di tempatnya adalah justru membuatnya sulit untuk pindah, baik itu dipromosi, atau pindah ke fungsi lain.
Pemahaman itu terus terbawa hingga sekarang. Pada suatu waktu, kala saya masih staff biasa, saya kedatangan partner kerja baru karena saya masih sendiri di departemen tersebut. Waktu itu ada kegiatan audit HR di salah satu anak perusahaan. Partner saya tersebut akhirnya menjadi tim saya ketika saya dipromosi menjadi head di organisasi tersebut, dan hingga sekarang tetap menjadi sahabat saya walaupun sudah pisah tempat kerja.
“Bro, loe pengen jadi apa sih?” ucap saya waktu makan siang di hari pertama dia masuk kantor tersebut. “Aku pengen jadi konsultan HR mas” jawabnya. Saat itu kita berdua bertugas di departemen yang salah satu tugasnya adalah melakukan audit HR kepada anak perusahaan. Secara pekerjaan, itu bukanlah pekerjaan yang menarik, karena tugasnya pada umumnya adalah mengatur jadwal audit dan berkoordinasi dengan para auditor dari anak perusahaan lain. Kemudian mengkoordinasikan proses pembuatan laporan. Kalau hanya melihat pekerjaannya, kelihatannya tidak memiliki nilai yang tinggi. Tapi di balik itu, saya melihat adanya kesesuaian aspirasi rekan saya tersebut dengan pekerjaan ini. Dalam tugas ini kita akan dapat memahami konsep dan praktik HR secara end to end.
Berbekal itu, saya langsung bilang kepada rekan saya: “Nah bro, di sini kamu akan belajar menjadi konsultan dengan menjalankan audit ini. Kita belajar HR secara lengkap di sini, kita akan melihat praktiknya yang sudah berjalan sekaligus memberikan masukan kepada anak perusahaan, bagaimana menjalankan praktik HR yang baik”. Rekan saya tersebut langsung berbinar-binar. Memang dalam keberjalanannya, pekerjaannya penuh tantangan dalam mengatur jadwal. Tapi kembali lagi, ketika diingatkan tentang mimpinya untuk menjadi konsultan HR, kesulitan mengatur jadwal menjadi tidak penting lagi buat dia.
Moment tersebut menjadi leadership moment yang tidak pernah terlupakan buat saya. Saat itu saya memang belum memiliki posisi sebagai leader. Kami berdua posisinya sama, sebagai staff. Tapi saat itu adalah ujian leadership buat saya, bagaimana memiliki visi dan misi yang jelas, dan mengengage orang untuk mengjalankannya, tanpa memiliki jabatan atau position power. Di moment yang berbeda kami berdua pun bersepakat, bahwa tugas kami bukanlah audit, tapi menjaga praktik ke-HRD-an. We’re the safe guard of HR practices. Memang di perusahaan kami saat itu, sudah ada standard praktik ke-HRD-an yang menjadi guidance bagi anak perusahaan, dan kami memposisikan diri sebagai penjaga praktiknya. Bahkan kami punya tagline: “eleveate HR practice to the next level” saat itu.
Alhamdulillah di tahun berikutnya saya dipromosi untuk menjadi pemimpin di departemen tersebut. Kami pun semakin “agresif” untuk meluaskan pengaruh kami di group. Kami juga punya visi menjadi departemen yang “top of mind” internal consutant di group kami. Dan dalam waktu kurang lebih 4 tahun, visi kami sudah terwujud. Dari departemen yang awalnya hanya berdua, saat itu sudah jadi 4 orang, dan saat ini ketika tulisan ini dibuat, departemen ini sudah memiliki staff lebih dari 6 orang.
Ini adalah pengalaman pribadi saya yang semoga bisa menginspirasi rekan-rekan untuk lebih efektif menjadi pemimpin. Saya melihat ada 4 hal yang saya lakukan saat itu:
- Pahami aspirasi tim kita
- Miliki visi dan meaning / misi pekerjaan dan alignkan dengan aspirasi tim kita
- Membangun trust di dalam tim
- Kembangkan tim
Pahami Aspirasi tim kita
Ketika saat saya bertanya: “bro, loe mau jadi apa sih?”, itu adalah moment untuk memahami aspirasi tim kita. Esensinya adalah kita harus memahami apa hal yang terpenting bagi tim kita. Pertanyaannya bisa juga di ganti seperti:
“Kamu mau kontribusi apa di sini?”
“Apa hal terpenting dalam hidup kamu?”
“Di saat pensiun nanti, kamu bakal pensiun jadi apa?”
dsb
Memahami ini sangat penting. Karena saya akhirnya paham, bahwa gaya kepemimpinan saya cenderung bukan memotivasi, tapi menginspirasi. Apa bedanya?
Kalau memotivasi, biasanya ada transaksi. Orang termotivasi karena adanya hadiah jika melakukan sesuatu, atau takut hukuman jika tidak melakukan sesuatu. Menggerakan orang dengan stick and carrot. Contoh memotivasi adalah: “Kalo project ini selesai, kamu akan mendapat bonus besar dan dipromosi”. Atau: “Kalo kamu gagal, kamu dapat bonus kecil, atau saya pecat”. Gaya memotivasi ini adalah gaya transactional. Biasanya kurang sustainable. Kalau hadiah tidak ada, orang tidak bergerak. Orang bergerak karena adanya faktor eksternal.
Sementara menginspirasi bergerak dari internal. Tergerak karena values, vision, mission individu. Kamu pernah lihat banyak orang yang rela tidak dibayar atau digaji kecil untuk bekerja dengan yayasan atau NGO kan? Mereka bisa seperti itu karena adanya kesamaan values, vision dengan organisasi di mana mereka bekerja.
Dengan memahami aspirasi tim kita, kita bisa menggerakkan mereka secara lebih efektif . Karena mereka bergerak dengan inspirasi mereka. Sering kali mereka bahkan berinisiatif tanpa harus disuruh, karena mereka paham apa yang dilakukan akan berdampak bagi visi dan misi hidup mereka sendiri.
Untuk memahami aspirasi memang tidak mudah. Dalam beberapa kasus tim saya waktu itu masih bingung apa hal yang terpenting dalam hidup mereka. Kadang saya menggunakan short cut dengan mengerucutkan aspirasi menjadi 3 saja: menjadi pemimpin, menjadi orang pintar, atau menjadi orang kaya.
Punya visi dan meaning pekerjaan dan alignkan dengan aspirasi tim kita
Hal kedua yang sangat penting adalah memiliki visi dan meaning pekerjaan (atau mungkin bisa dibilang sebagai mission) yang dishare bersama. Credo saya di saat kuliah dulu tentang leadership adalah:
What is a leader?
a leader is, the one who:
Knows the way
Shows the way
and Goes the way
Memiliki visi yang jelas itu artinya kita tahu mau ke mana kita pergi. Ini adalah our north star. Our guiding star. Misi hidup yang selalu kita lihat ketika kita sedang menghadapi kesulitan. Visi da meaning pekerjaan ini terus terang sering saya lihat kembali ketika menghadapi drama-drama di kantor. Dengan melihat visi dan meaning tersebut, drama-drama, kesulitan, menjadi tidak relevan, karena ada yang jauh lebih penting untuk dipikirkan, yaitu visi kita.
Hal terpenting kemudian adalah membagi visi kita tersebut dengan tim kita. Ini adalah bagian shows the way. Dan pastikan itu align dengan aspirasi tim kita. Bagaimana kalau tidak align? Percayalah, pasti ada kesamaan antara visi kita dengan aspirasi tim kita.
Ada satu waktu, ketika saya one on one dengan salah satu tim saya. Dia agak sedih karena pemimpin di organisasi justru diisi oleh orang-orang dari luar, bukan dari dalam. Tugas dia adalah memang mengembangkan orang di dalam organisasi. Dan dia juga memang sangat passionate dalam mengembangkan orang. Saat itu, dia sedang dalam kondisi yang terdemotivasi dengan kondisi organisasi. Saya pun share visi saya: “Di tahun xxxx, 100% leadership position itu akan dari dalam, how do you feel about that?”. Dia pun membayangkan salah satu talent yang sudah ada diposisi puncak, tanpa sadar dia tersenyum saat itu. Saya merasakan api yang mulai menyala lagi. Sejak itu, dia kembali semangat, dan menjadi salah satu andalan perusahaan untuk mengembangkan talent.
Dengan alignnya visi dengan aspirasi seluruh tim, saya merasa pekerjaan jadi lebih mudah. Tim jadi lebih berinisiatif, saya hanya menjadi mentor saja. Kalaupun tim masih belum capable, mereka akan belajar secara mandiri, atau berinisiatif kepada saya untuk minta diajari. Kerja seperti itu enak kan?
Membangun trust di dalam tim
Gaya kepemimpinan saya memang sejak dulu tidak pernah formal. Ini adalah cara saya untuk membangun trust di antara kita. Selain terus belajar untuk meningkatkan kompetensi. Pastikan hal yang esensial seperti integritas terjaga dengan baik. Nah, untuk membangun trust di antara tim, saya membangun keterbukaan dengan tim. Pastikan rapport dengan dan di antara tim terbangun dengan baik.
Yang pertama biasanya saya mencari kesamaan dengan tim. Rapport akan terbangun dengan mudah jika kita melihat kesamaan. Orang cenderung suka dengan orang yang sama dengan dirinya sendiri. Jadi saya pasti selalu pastikan, apa yang sama antara saya dengan tim. Dan itu harus jujur ya. Jangan sampe nyama-nyamain aja. Karena kalau nggak jujur, tim kita akan melihatnya, dan mereka bisa kehilangan trust dengan kita.
Setelah melihat kesamaan, saya menggunakan perbedaan kita dengan tim sebagai hal yang saling melengkapi. Di sini saya terbuka dengan tim dengan menjadi orang yang vulnerable. Saya bisa bilang apa saja kelemahan saya kepada tim saya. Saya nyaman dengan kelemahan saya, dan tidak takut kehilangan respect dari tim jika mereka tahu kelemahan saya. Tapi balik lagi, bukan cerita aib ya, tapi kelemahan yang kontekstual dengan pekerjaan. Ketika saya buka kelemahan saya, dan saya melihat ada hal yang berbeda dari tim kita yang bisa melengkapi kita, itu langsung saya angkat. Orang akan merasa berharga ketika mereka bisa memberikan manfaat bagi orang lain. Pastikan mereka sadar bahwa mereka berharga bagi kamu sebagai leader, karena bisa melengkapi kelemahan kamu.
Terakhir, ini hanya style ya, bahwa saya memposisikan diri sebagai brother bagi tim saya. Agak jarang menggunakan posisi saya sebagai pemimpin. Power yang saya gunakan sebagai leader adalah knowledge power, bukan position power, apalagi physical power.
Pastikan tim berkembang dan siap menggantikan
Dalam pengembangan tim, biasanya saya cukup terbuka, kompetensi apa yang perlu dikembangkan. Pada bagian ini sebetulnya nggak terlalu sulit apabila tiga hal di atas sudah dilakukan dengan baik. Karena tim cenderung akan terinspirasi dan berinisiatif untuk terus berkembang. Dalam konteks ini memang perlu dialokasikan waktu untuk melakukan mentoring, coaching, atau one on one dengan tim kita. Pastikan dialog terjadi
Tapi balik lagi ya, kesiapan itu sangat tergantung oleh banyak hal. Jadi fokuslah pada proses dan progress, bukan hasil. Masalah tim kita sudah siap betul atau nggak, itu masalah nanti. Karena biasanya organisasi berkembang lebih cepat dari kemampuan perkembangan orang. Jadi sudah pasti, kita nggak akan pernah siap penuh 100%.
Ada satu pernyataan yang saya suka katakan: ” Kalo kamu belum capable di posisimu saat ini, itu pertanda bagus. Itu artinya kamu sedang berkembang”. Kalo kita sudah capable, artinya kita sedang tidak di-stretch. Jadi, yang penting adalah bagaimana kita terus belajar sehingga kita capable, dan kemudian cari tantangan lain di mana kita belum capable, dan terus belajar. Jika kita sebagai pemimpin melakukan itu, dan kita juga memberikan tantangan pekerjaan yang men-stretch tim kita, ini adalah proses pengembangan yang baik.
Kita sering dengan konsep belajar 70:20:10. Pekerjaan, atau project assignment adalah bagian dari pengembangan yang harus dikomunikasikan kepada tim kita. Memagn sebagian besar orang berfikir bahwa pengembangan = training. Nah, kita harus ubah itu. Pastikan tim kita sadar penuh, bahwa tugas mereka adalah bagian dari pengembangan mereka. Caranya adalah, dengan membangun kesadaran bagi tim kita, kompetensi apa yang akan berkembang jika mereka menjalankan tugas tersebut.
Penugasan tersebut akan menjadi pengembangan yang hebat apabila diiringi oleh proses pendampingan dalam bentuk mentoring atau coaching. Di sini lah saya biasa berperan. Jadi, saya agak jarang melakuan PDCA yang menagih pekerjaan. Saya lebih sering bertanya, sudah belajar apa dalam penugasan kamu itu.
Terakhir, training itu adalah pelengkap dalam pengembangan. Memang jika tim kita belum memiliki pengetahuan yang cukup, mereka harus belajar terlebih dahulu. ilmu sebelum amal. Tapi balik lagi, kalau tim kita ternispirasi, mereka akan belajar sendiri lho.
Siapa penentu kesuksesan kita sebagai pemimpin?
Akhirnya, siapa yang mempengaruhi sukses tidaknya kita sebagai leader? Jawabannya: Tim kita sendiri. Sukses yang sejati adalah ketika kita punya tim yang kuat dan siap mendukung kita. Jangan sampe kita sukses lebih karena dekat dengan atasan, dan terus diangkat. Kalau tim kita tidak kuat, kita akan dengan mudah jatuh. Tim kita adalah landasan dan dasar kita untuk terus bisa maju dan berkembang. Tapi ini bukan berarti tim kita adalah orang yang kita injak-injak ya. Itu salah besar!
So, pastikan kita punya calon pengganti dari tim kita. Minimal 2 orang lah. Pastikan pengembangan mereka, seiring dengan perkembangan organisasi. Sehingga kita pun akan siap untuk mengisi posisi yang lebih tinggi, karena kita sudah memiliki pengganti yang siap menggantikan kita.


Tinggalkan komentar