Escape the Saboteur: Build Positive Habits

Di bilangan SCBD, ada dua sosok yang sedang bersinar menjadi team leader di sebuah konsultan ternama: Raka dan Andra. Keduanya cerdas, pekerja keras, dan punya pencapaian yang membanggakan. Tapi respons mereka terhadap tekanan dan konflik sangat berbeda.

Kenalin: Raka si perfeksionis

Raka adalah tipe perfeksionis. Ia selalu mengatur segala hal hingga mendetail, dan bila sesuatu tidak berjalan sesuai rencana—ia cepat marah. Ketika anak buahnya terlambat menyelesaikan laporan, Raka langsung naik pitam. Ia menganggap semua hambatan adalah kesalahan orang lain: sistem yang buruk, tim yang tidak kompeten, atau klien yang terlalu menuntut.

Di dalam pikirannya, hidup adalah sesuatu yang menimpanya, dan tugasnya adalah bereaksi secepat mungkin—meski kadang lewat kemarahan, keluhan, atau sikap sinis. Ia merasa lelah, tapi tidak tahu kenapa.

Di rumah, istrinya mulai menjaga jarak. Anak-anaknya enggan bercerita, karena “ayah pasti sedang capek atau marah.” Raka sukses secara materi, tapi ada jarak emosional yang makin lama makin terasa dengan orang-orang terdekat.

Andra si kalem

Sementara itu, Andra juga menghadapi tekanan dan tantangan serupa. Tapi saat timnya terlambat menyelesaikan laporan, ia bertanya: “Apa yang bisa saya bantu agar ini tidak terulang?” Ia mengevaluasi proses, mendengar kendala tim, dan memberikan kepercayaan. Ia tahu ia tidak bisa mengendalikan semua hal, tapi ia bisa memilih respons terbaik.

Andra tidak reaktif terhadap kegagalan, ia menjadikannya pembelajaran. Dalam pikirannya, hidup bukan soal apa yang menimpanya, tapi bagaimana ia menyikapinya. Saat konflik datang, ia bertanya pada dirinya sendiri, “Apa nilai yang ingin saya pegang sekarang?” Ia tidak sempurna, tapi ia sadar: kendali atas hidupnya ada di tangannya.

Di rumah, Andra adalah sosok yang hadir secara emosional. Ia mendengar, hadir, dan tidak membawa ‘beban kantor’ ke dalam rumah. Orang-orang di sekitarnya merasa diperhatikan dan dihargai.

Kalo kamu jadi client-nya perusahaan ini, kamu ingin dibantu oleh Raka atau Andra?

Kamu lebih relate ke siapa sekarang? Raka atau Andra? Dan pertanyaan terpentingnya:
Kamu pengen jadi seperti siapa?

Kalau Kamu Pengen Jadi Seperti Andra, Mau Tahu Caranya?

Andra punya satu kualitas mendasar yang membedakannya: ia hidup dengan penuh kesadaran (mindfulness).

Ia tidak dikendalikan oleh reaksi impulsif. Ia tidak membiarkan emosinya mengambil alih. Ia tidak hidup secara autopilot. Andra hadir, sadar, dan memilih secara sadar bagaimana ia ingin merespons hidup.

“The Why”: Mindfulness, Otak, dan Keadaan Alpha

Secara neurosains, saat kita mindful itu:

  • Prefrontal cortex (pusat kendali otak) jadi lebih tebal dan aktif. Ini adalah bagian otak yang mengatur pengendalian diri, empati, dan pengambilan keputusan matang.
  • Sementara itu, amigdala (pusat reaksi stres) menjadi lebih jinak. Artinya, kita tidak mudah terbajak oleh emosi negatif.

Dan ketika kita tenang, otak kita dalam kondisi alpha—kondisi yang mendukung kreativitas, ketajaman intuisi, dan inspirasi.

Sebaliknya, saat kita dikuasai stres, otak masuk ke state beta yang sempit, tegang, dan sulit berpikir jernih.

Contohnya? Kita semua pernah mengalami: ide cemerlang muncul saat kita mandi, jalan santai, atau berdiam sejenak. Tapi saat panik atau buru-buru? Otak kita blank, kreatifitas hilang.

Jalannya Andra: Self-Differentiation, Proactiveness, dan Positive Intelligence

1. Self-Differentiation: Tenang dalam Tekanan

Self-differentiation adalah kemampuan untuk tetap menjadi diri sendiri di tengah tekanan sosial atau emosional. Ini bukan berarti keras kepala atau acuh, tapi justru menjadi kuat tanpa memutus hubungan dengan orang lain. Kita harus mampu memisahkan perasaan dan fikiran kita. Makanya namanya “self differentiation”, memisahkan apa? Ya perasaan dan fikiran kita.

Orang yang self-differentiated itu:

  • Tidak mudah terseret emosi orang lain,
  • Mampu tetap tenang di tengah konflik,
  • Berani berbeda tanpa bersikap konfrontatif,
  • Tidak mencari validasi dari luar untuk merasa utuh.

Andra bisa mendengar kritik tanpa merasa hancur. Ia bisa tetap peduli tanpa harus menyenangkan semua orang. Ia bisa berkata “tidak” tanpa rasa bersalah. Itulah self-differentiation—pondasi dari pribadi yang dewasa secara emosional.

Self-differentiation bukan berarti menjadi egois atau dingin, tapi justru menjadi pusat ketenangan yang kuat dan peduli. Inilah kualitas kepemimpinan sejati: tidak reaktif terhadap tekanan, tapi tetap terhubung dengan prinsip, nilai dan tujuan yang lebih besar, atau dengan kata lain: PROAKTIF.

2. Proactiveness: Hidup Berdasar Prinsip, Bukan Emosi

Menjadi proaktif berarti kita mengendalikan respons kita terhadap situasi, bukan bereaksi secara otomatis terhadap rangsangan dari luar. Orang proaktif menyadari bahwa mereka punya kebebasan memilih respons, karena antara stimulus dan respons, ada ruang untuk memilih.

Ciri-ciri pribadi proaktif:

  • Tidak menyalahkan keadaan, orang lain, atau masa lalu.
  • Mengambil tanggung jawab atas hidup dan tindakannya.
  • Fokus pada lingkar pengaruh (circle of influence) – hal-hal yang bisa dikendalikan.
  • Menggunakan bahasa positif dan penuh kendali, seperti “Saya memilih,” bukan “Saya tidak bisa.”

Contoh perbedaan:

ReaktifProaktif
“Aku terpaksa melakukannya”“Aku memilih melakukannya”
“Itu membuatku marah”“Aku memilih untuk tetap tenang”
“Aku tidak bisa”“Aku akan mencari cara”

Kunci menjadi proaktif:

  • Sadari bahwa diri kitalah sumber dari perubahan yang kita inginkan.
  • Latih kesadaran diri dan tanggung jawab pribadi.
  • Fokus pada tindakan-tindakan kecil sehari-hari yang memperluas pengaruh kita.

Nah, untuk mampu untuk proaktif, ada tekniknya. Yaitu dengan menyadari apa saboteur kita yang bisa mengendalikan perilaku kita sehingga menjadi reaktif, dan  memiliih sage untuk menjadi proaktif.

3. Positive Intelligence: Mengalahkan Saboteur, Mengaktifkan Sage

Untuk menjadi proaktif, itu sangat tidak mudah. Untungnya ada buku Positive Intelligence karya Shirzad Shamine yang memberikan cara untuk menjadi proaktif (walaupun dibukunya tidak disebutikan istilah proaktif), dengan cara menyadari saboteur dan mengaktifkan sage.

Setiap hari, kita mendengar bisikan-bisikan internal. Ada yang membangun, tapi banyak pula yang merusak. Itulah suara saboteur. Setiap saboteur punya kombinasi sifat, pikiran, perasaan dan tindakan yang unik.

Tantangan untuk menjadi orang yang self-differentiated adalah menyadari dan bisa memisahkan mana pikiran dan mana perasaan. Kebanyakan orang sulit mendeskripsikan mana perasaan atau pikirannya. Nah, di buku ini Shirzad Shamine memberikan contoh perasaan dan pikiran dari setiap saboteur. Kita akan bisa belajar untuk mengenalinya, dan kita bisa melucutinya dengan baik.

Know thy self, know thy enemy. A thousand battles, a thousand victories
– Sun Tzu

Kenalin Saboteur kamu: “Setan” yang selalu membisiki kita untuk berbuat buruk

The Judge adalah dalang utamanya: mengkritik diri sendiri (“Kamu nggak cukup baik”), menghakimi orang lain (“Dia menyebalkan”), atau menyalahkan situasi (“Ini tidak adil”). Dia selalu mengumbar kebohongan: “Kalau aku tidak mengkritik, kamu tidak akan berkembang!.” Padahal, pertumbuhan sejati butuh belas kasih, bukan kecaman

Kalau the judge berhasil menguasai kamu, dia akan menarik semua kaki tangannya, yaitu 9 saboteur dengan sifat pikiran, perasaan dan tindakan beserta kebohongannya supaya kamu percaya bahwa mereka adalah kunci sukses kamu selama ini:

Source: https://timbrown.actioncoach.co.uk/2024/01/18/positive-intelligence-how-to-train-your-brain-to-enhance-your-entrepreneurial-mindset/

Controller

  • Pikiran:Kalau aku nggak ambil alih, semua bakal kacau.”
  • Perasaan: Tegang, frustasi, cemas.
  • Tindakan: Dominan, perfeksionis, susah delegasi.
  • Kebohongan: “Kamu harus mengontrol untuk bisa sukses.”
  • Kenyataan: kontrol berlebihan menghancurkan hubungan dan kerja sama

Pleaser

  • Pikiran: “Kalau aku nggak nyenengin orang, mereka bakal ninggalin aku.”
  • Perasaan: Cemas, takut ditolak.
  • Tindakan: Mengorbankan kebutuhan sendiri.
  • Kebohongan: “Menyenangkan orang lain membuatmu berarti.”
  • Kenyataan: “kita kehilangan jati diri saat hidup untuk validasi orang lain.”

Hyper-Achiever

  • Pikiran: “Aku berharga kalau aku sukses.”
  • Perasaan: Takut gagal, cepat bosan.
  • Tindakan: Mengejar prestasi terus-menerus.
  • Kebohongan: “Tanpa pencapaian, kamu bukan siapa-siapa.”
  • Kenyataan: “harga diri yang sehat tidak boleh tergantung hasil”

Victim

  • Pikiran: “Aku ini korban.”
  • Perasaan: Sedih, rendah diri.
  • Tindakan: Menarik diri, mencari simpati.
  • Kebohongan: “Menjadi korban membuatmu istimewa dan penuh empati.”
  • Kenyataan: Narasi korban membuat kita lepas tanggung jawab atas hidup sendiri.

Avoider

  • Pikiran: “Kalau aku hadapi, bakal lebih buruk.”
  • Perasaan: Cemas, bersalah.
  • Tindakan: Menghindar, menunda.
  • Kebohongan: “Menghindar menjaga kedamaian.”
  • Kenyataan: kedamaian tanpa kejujuran adalah ilusi.

Hyper-Rational (Rasional Berlebihan)

  • Pikiran: “Logika adalah segalanya.”
  • Perasaan: Datar, tertutup.
  • Tindakan: Terlalu fokus pada analisis.
  • Kebohongan: “Rasionalitas adalah satu-satunya cara membuat keputusan yang baik.”
  • Kenyataan: “manusia juga butuh koneksi emosional untuk bisa terlibat dan dipercaya.”

Hyper-Vigilant (Waspada berlebihan)

  • Pikiran: “Kalau lengah, bisa hancur.”
  • Perasaan: Gelisah, takut.
  • Tindakan: Mengecek terus, susah percaya.
  • Kebohongan: “Kekhawatiran konstan membuatmu aman.”
  • Kenyataan: Kewaspadaan ekstrem justru menciptakan stres kronis.

Restless (Gelisah)

  • Pikiran: “Aku harus terus bergerak.”
  • Perasaan: Bosan, gelisah.
  • Tindakan: Gonta-ganti aktivitas, tidak fokus.
  • Kebohongan: “Kamu harus terus mencari pengalaman baru untuk bahagia.”
  • Kenyataan: Kebahagiaan tidak datang dari pelarian, tapi dari kehadiran.

Stickler

  • Pikiran: “Kalau nggak sempurna, itu salah.”
  • Perasaan: Frustrasi, jengkel.
  • Tindakan: Menuntut kesempurnaan.
  • Kebohongan: “Ketelitian dan standar tinggi itu wajib agar bisa sukses.”
  • Kenyataan: Menguras energi untuk hal-hal kecil, membuat relasi tegang, menghambat inovasi karena takut gagal, tidak melihat “big picture” dan kehilangan fleksibilitas

Coba lihat, pikiran, perasaan, dan tindakan mana yang paling sering muncul ketika ada kejadian bikin kamu nggak nyaman? Kamu juga bisa melakukan assessment di sini: https://www.positiveintelligence.com/saboteurs/

Ini cara kita melucuti para saboteur

Ketika ada kejadian yang bikin kamu nggak nyaman, biasanya the judge muncul membisiki kita dengan kata-kata di atas. Cara menghadapinya: cukup sadari bahwa dia membisiki, dan…. cuekin! Sadari bisikan itu bukan dirimu, tapi dia adalah sesuatu yang lain, yang kalau saya kasih nama: the darth vader. Coba cari nama atau label judge-mu sendiri. Boleh dikasih nama unyil, senator palpatine, voldemort, atau apapun. Sadari bahwa dia adalah bukan dirimu!

Kalau kita cuekin bisikan itu, maka the judge tidak akan mengaktifkan saboteur lainnya. Untuk melemahkan judge tersebut, kita juga perlu berikan pertanyaan reflektif dengan teknik: three gifts technique:

  1. Apa pelajaran tersembunyi dari situasi ini?
  2. Apa kesempatan penguatan karakter yang bisa aku ambil?
  3. Bagaimana ini bisa menjadi jalan menuju sesuatu yang lebih besar?

Setelah kita bisa melucuti saboteur dan melihat hikmah atas kejadian yang kamu hadapi, kamu akan mulai merasakan ketenangan dan siap untuk mengaktifkan sage.

Sage Powers: Kekuatan Jiwa yang Membebaskan

Sage power, adalah kekuatan tenang yang memberikan energi lebih kuat. Ini bukan kekuatan pasif, melainkan aktif yang juga memiliki sifat pikiran, perasaan dan tindakan yang unik. Jika kita bisa mengaktifkan sage power ini, tindakan kita akan lebih tenang dan lebih kuat.

Ada lima sage power: Empathy, Explore, Innovate, Navigate, dan Activate. Kalau saya menyingkatnya EXINA:

Empathy

  • Pikiran: “Aku cukup. Kamu juga cukup.”
  • Perasaan: Tenang, hangat.
  • Tindakan: Pemaaf, pengertian.

Explore

  • Pikiran: “Apa pelajaran di sini?”
  • Perasaan: Penasaran, terbuka.
  • Tindakan: Bertanya, mendalami.

Innovate

  • Pikiran: “Bagaimana kalau coba cara baru?”
  • Perasaan: Semangat.
  • Tindakan: Bereksperimen, kreatif.

Navigate

  • Pikiran: “Apa yang paling bermakna?”
  • Perasaan: Terarah.
  • Tindakan: Memilih berdasar nilai hidup.

Activate

  • Pikiran: “Aku bisa bergerak dengan tenang.”
  • Perasaan: Percaya diri.
  • Tindakan: Bertindak mantap dan sadar.

Ini semua seperti olah raga: perlu latihan olah rasa

Latihan untuk menjadi seperti Andra memerlukan proses yang konsisten. Salah satu cara terbaik adalah dengan melatih mindfulness—kesadaran penuh akan momen saat ini. Setiap kali kita menyadari apa yang terjadi di sekitar kita, kita memberikan ruang untuk menyadari saboteur yang muncul dalam pikiran. Caranya sangat sederhana, kita tidak perlu melakukan meditasi formal. Cukup dengan merasakan interaksi kain baju atau celana kita dengan kulit, atau mendengarkan suara alam di sekitar kita. Ketika pikiran-pikiran lain mulai muncul, cukup sadari keberadaannya, lalu lembut kembalikan fokus kita kepada apa yang ingin kita capai. Dengan latihan yang terus-menerus, kita akan semakin mampu mengontrol reaksi kita dan hidup dengan lebih sadar.

Pertanyaan Penutup

Setelah membaca semua ini…

Kamu pengen jadi seperti siapa? Raka atau Andra?
Bukan karena satu lebih baik dari yang lain, tapi karena kamu tahu siapa yang kamu mau jadi,
dan bagaimana kamu ingin menjalani hidup ini.

Tinggalkan komentar

Buat situs web atau blog di WordPress.com

Atas ↑