Ayah saya selalu mengingatkan saya agar berkata dan bersikap pantas layaknya seorang bos. Dalam beberapa kesempatan, saya menggunakan kata gue dalam keseharian, teguran itu selalu muncul. Terus terang saya sudah merasa iritated dengan teguran itu. Ya, saya tahu, nasihat tersebut 100% benar. Mario Teguh pun menasihatkan hal yang sama: pantaskanlah diri kita untuk menerima yang besar. (Untuk memantaskan diri menerima yg besar, nanti kita bahas kemudian).
Hal yang bertentangan justru terjadi di sekitar saya. Atasan saya, atasannya atasan saya, mereka memiliki ‘kepribadian ganda’. Di kesempatan santai, mereka menggunakan kata gue sebagai kata ganti orang pertama, dan kata loe sebagai kata ganti orang kedua, sebuah kata yang “haram” bagi Bapak saya. Namun di saat official, mereka menggunakan “saya” dan “kamu” sebagai panggilan.
Apakah mereka tidak ‘pantas’ menjadi pimpinan akibat penggunaan kata gue? Saya tidak merasakan adanya reduksi rasa hormat saya kepada mereka ketika mereka berkata gue….. Sebaliknya, rasa hormat saya masih menilai kapabilitas mereka sebagai pemimpin. Ada bos yang sangat santun, tapi saya tidak respect kepada beliau karena kepemimpinannya yang lemah. Walaupun begitu, saya tetap memiliki respect karena jabatan dan kesantunan beliau.
Saya coba lihat para bos lainnya, yang berada jauh di atas atasan dan atasannya saya lagi. “Kelakuan” mereka juga tetap santai ketika berkumpul di antara sesamanya, yaitu para eksekutif. Panggilan loe – gue akrab terdengar. Sering juga terdengar cela-mencela menandakan sudah tidak ada lagi jarak di antara mereka. Apakah mereka tidak pantas jadi bos?
Kriteria Bos
Sedikit banyak saya ada setujunya dengan pendapat Bapak saya, tapi saya memiliki kriteria sendiri:
1. Kompetensi
Di sini saya menggaris bawahi bahwa kompetensi yang dimiliki oleh seorang bos secara mendasar adalah kompetensi teknis. Minimal kompetensi dasar harus dimiliki. Kalau tidak, sang bos akan diinjak2 dan diremehkan oleh anak buahnya (jika anak buahnya ternyata ekspert secara teknis).
Kompetensi mutlak lainnya adalah soft competency seperti analytical and conceptual thinking, leadership dsb. Saya melihat ada beberapa bos yang secara teknis masih hijau, namun secara pola pikir cukup kuat, sehingga tetap dapat mendapat respect dari anak buahnya.
2. Leadership & Kharisma
Walaupun leadership adalah salah satu kompetensi, tapi tetap saya masukkan sebagai faktor kunci. Bos yang memiliki leadership yang kuat, visioner, PD, biasanya mendapatkan respect dari anak buahnya.
3. Attitude
Nah, ini juga penting. Atasannya atasan saya memiliki masalah di sini. Ok, dia kompeten secara teknis, I respect that. Namun, dalam beberapa kasus, sikapnya yang arogan dan bragging justru mengurangi respect. Apalagi dengan tawanya yang sering lepas kendali di meeting2 penting. Sering mempermalukan organisasi kami.
4. Penampilan.
Penting, tapi sering saya lewatkan. Padahal saya adalah orang yang judge the book by it’s cover. Dan sebagian besar orang juga demikian. Melihat kebanyakan executive di tempat saya bekerja, mereka kebanyakan tidak berpenampilan layaknya seorang bos. Namun, jika dilihat2 lagi, creme de la creme-nya semuanya sangat rapi. Para executive yang jadi kader pun semuanya rapi, tidak ada yang slengean. (Upz, padahal saya superduper slengean nih).
Mungkin ini kriteria bos menurut saya. Tanpa mengurangi rasa hormat bagi para bos yang ternyata belum memiliki semua kriteria di atas.
Posted with WordPress for BlackBerry.
Tinggalkan Balasan