Jika Anda adalah pengguna XL (dahulu: ProXL), alasan pertama menggunakan layanannya adalah karena kualitas jaringannya yang “bening”. Kita teringat lebih dari 5 tahun yang lalu, XL memang dipersepsi sebagai produk yang lebih premium, karena harganya relatif mahal namun memiliki kualitas yang prima. Ketika XL mengeluarkan merek bebas dan jempol, saya melihat XL masih menjaga mereknya. Untuk pasca-bayarnya diberi merek XPlor, dengan diferensiasi perhitungan tarif pulsa per detik. Kemunculan XPlor cukup sukses kala itu.
Namun semenjak dimiliki TM dan kemudian Axiata (mohon koreksi bila saya salah), merek XPlor, Bebas, dan Jempol tiba-tiba “menghilang bak ditelan bumi”. Sesungguhnya hanya Jempol yang hilang (baca: tidak diexpose lagi), sekarang hanya dua yang tersisa, pra bayar dan pasca bayar.
Di tahun 2007, perang harga terjadi antara para pemain besar, yaitu Telkomsel, Indosat dan XL. Di sini mulai terlihat betapa XL “tidak menghargai” merek yang dimilikinya. Jika telkomsel terus menjaga merek Simpati-nya dan membiarkan As maju sebagai martir dalam perang harga, XL justru mengandalkan “Bebas”-nya untuk bertarung. Posisinya semakin terjepit karena indosat juga menggunakan IM3 untuk maju ke medan perang harga (mengenai ulasan merek2 indosat, nanti akan saya bahas di case study yang lain). Yang saya heran justru mengapa XL tidak menggunakan Jempol sebagai fighting brand-nya? Saat itu orang mulai mengeluhkan layanan XL yang semakin memburuk. Memang customer base-nya meningkat, namun service levelnya turun drastis.
Pertama, harga diturunkan menjadi “hanya” 10 rupah per detik, atau 600 rupiah per menit. Hal ini sudah mulai “melukai” para pelanggan XPlor yang saat itu merasakan bahwa tarif perdetik sangatlah menguntungkan, dan hanya dirasakan oleh mereka. Namun, dengan diberlakukannya tarif perdetik oleh XL untuk pelanggan Bebas-nya, lalu benefit apa yang diperoleh pelanggan XPlor? Perubahan harga ini tidak berlangsung lama, karena operator lainnya juga menurunkan harganya. Untuk menjawab pergerakan kompetitornya, XL akhirnya memberlakukan harga Rp 1/detik, atau turun harga 90%. namun bila jeli, ternyata harga Rp 1/detik sudah mulai banyak embel-embel syarat dan ketentuan berlaku, yang cenderung “menipu” konsumen. Tell the truth, but not the whole truth. Ibarat gerombolan siberat yang menipu paman gober dengan klausul yang ditulis super kecil dalam kontrak.
Tarif Rp 1 pun tidak bertahan lama. akhirnya XL mengeluarkan harga Rp 600 sepuasnya. Lagi-lagi dengan klausul umum: Syarat dan ketentuan berlaku. Di sini terlihat bahwa XL terus berupaya untuk menancapkan image bahwa tarifnya termurah. Karena di saat yang kurang lebih bersamaan, Esia menjadi ancaman serius dengan tarif Rp 50 / menit. Ditambah lagi dengan Rp 1000 / jam-nya, cukup mengancam para incumbent di GSM (Telkomsel, Indosat, dan XL). Yang terpancing dengan perang harga yang dimulai oleh Esia, Indosat dan XL terus berupaya menanamkan image murahnya. Telkomsel tidak begitu melayani perang tersebut, hanya saja sedikit memajukan brand AS-nya untuk bertempur di medan perang harga. Namun yang paling seru justru perang antara XL dan Indosat.
Harga berikutnya adalah Rp 0,1 Rp/ detik. Dan, seperti biasa, masih dengan syarat dan ketentuan berlaku. Dan ini juga dilayani oleh Indosat. Akhirnya kedua operator tersebut berlomba-lomba memperbanyak angka 0 di depan angka satu di tarifnya. Yang menariknya, dengan harga yang semakin murah, pelayanan yang diberikan pun semakin parah. Berbeda dengan tingkat pelayanannya yang dulu, mutu sinyal XL semakin parah. Pricing yang tidak konsisten + pelayanan yang semakin buruk, akhirnya memperparah positioning XL sebagai operator dengan kualitas yang tinggi. Dengan tag line “Jaringan Luas”, namun pesan komunikasi yang mayoritas menunjukkan bahwa XL “termurah”, ini memperlihatkan inkonsistensi positioningnya.
Saat ini perang harga sudah mulai mereda, namun tetap dilakukan oleh ketiganya. Jika melihat pricing yang ditawarkan oleh XL prabayar, konsumen mendapatkan banyak pilihan. Sounds good huh? Kalau saya lihat justru ini malah membingungkan konsumen. Ingat paradoks, bahwa semakin banyak pilihan, konsumen justru semakin bingung. Apalagi dengan berbagai iklan harga murahnya dengan cek *123#, yang begitu kita mencobanya, yang ada malah kebingungan mencarinya.
Lalu apakah ini sukses? Kita lihat bahwa XL Axiata meraup peningkatan profitabilitas yang lumayan tahun ini. Apakah ini jangka panjang? Mari kita prediksi.
Tinggalkan Balasan