Jangan Cintai Aku Apa Adanya: Bagaimana Menerapkan Growth Mindset

Kita sedari dulu sering mendengar istilah “cintai aku apa adanya”. Tapi di tahun 2014, Tulus justru menyanyikan satu lagu dengan judul yang nggak umum: “Jangan Cintai Aku Apa Adanya”. Terus terang awalnya saya tergelitik mendengar lagu yang nggak lazim ini:

Jangan cintai aku apa adanya, jangan
Tuntutlah sesuatu biar kita jalan ke depan

Aku ingin lama jadi petamu
Aku ingin jadi jagoanmu, oh

Jangan cintai aku apa adanya, jangan
Tuntutlah sesuatu biar kita jalan ke depan, oh
Jangan cintai aku apa adanya, jangan, oh
Tuntutlah sesuatu biar kita jalan ke depan, yeah

Lagu ini berlawanan dengan lagu yang dibawakan oleh Bruno Mars yang berjudul “Just the way you are”. Yang memang isinya umum banget untuk orang yang sedang jatuh cinta, yaitu mencintai apa adanya. Lirik lagu yang dinyanyikan tulus di atas memang sederhana, tapi memuat makna mendalam tentang pentingnya penerimaan diri dan pertumbuhan pribadi. Bicara soal pertumbuhan pribadi, apa sih yang muncul di benak kalian? Mungkin sebagian dari kalian akan langsung teringat buku Mindset karya Caroll S. Dweck.

Mindset

Buku “Mindset” membahas dua jenis mindset yang berbeda: fixed mindset dan growth mindset. Menurut Dweck, mindset ini mempengaruhi cara kita menghadapi tantangan, mengelola kegagalan, dan mencapai potensi pribadi kita.

  1. Fixed Mindset: Orang dengan mindset ini percaya bahwa kemampuan dan kecerdasan mereka adalah tetap, tidak dapat berubah. Mereka cenderung berpikir bahwa mereka dilahirkan dengan kualitas tertentu dan tidak bisa berkembang lebih jauh. Orang dengan mindset tetap sering menghindari tantangan karena takut gagal dan merasa bahwa kegagalan adalah tanda ketidakmampuan mereka. Mereka juga cenderung merasa terancam oleh keberhasilan orang lain dan merasa perlu membuktikan keunggulan mereka.
  2. Growth Mindset: Orang dengan mindset ini percaya bahwa kemampuan dan kecerdasan bisa ditingkatkan melalui kerja keras, dedikasi, dan pembelajaran terus-menerus. Mereka melihat kegagalan sebagai kesempatan untuk belajar dan berkembang. Mereka menyambut tantangan dan melihat keberhasilan orang lain sebagai inspirasi dan contoh yang dapat diikuti. Mereka yakin bahwa mereka dapat mencapai tujuan mereka melalui upaya yang konsisten dan kemauan untuk belajar.

Jangan mencintai apa adanya: Growth Mindset

Lagu tulus di atas menurut saya adalah salah satu contoh lagu yang memiliki pesan growth mindset. Saya lihat tulus memberikan pesan yang sangat kuat agar kita bisa terus berkembang. Nah, kira-kira orang dengan growth mindset itu lebih spesifiknya punya sifat seperti apa sih? Ini yang saya pahami:

  1. Keyakinan pada kemampuan untuk berkembang: Orang dengan growth mindset percaya bahwa kemampuan mereka bukanlah sesuatu yang ditentukan secara tetap sejak lahir. Mereka menyadari bahwa melalui upaya yang konsisten, dedikasi, dan pembelajaran terus-menerus, mereka dapat meningkatkan keterampilan dan mencapai tingkat keunggulan yang lebih tinggi.
  2. Menghadapi Tantangan: Individu dengan growth mindset melihat tantangan sebagai kesempatan untuk tumbuh dan belajar. Mereka tidak takut untuk menghadapi situasi yang sulit atau baru, karena mereka percaya bahwa usaha dan ketekunan akan membantu mereka mengatasi rintangan dan mencapai kemajuan.
  3. Mengelola Kegagalan: Orang dengan growth mindset melihat kegagalan sebagai bagian alami dari proses belajar dan tumbuh. Mereka tidak menyerah saat menghadapi kegagalan, tetapi melihatnya sebagai peluang untuk memperoleh wawasan baru dan meningkatkan kinerja di masa depan. Mereka menganalisis apa yang bisa dipelajari dari kegagalan tersebut dan menggunakan pengalaman tersebut untuk mengubah dan memperbaiki pendekatan mereka di masa mendatang.
  4. Ketahanan dan Upaya yang Konsisten: Individu dengan growth mindset memiliki ketahanan yang tinggi dalam menghadapi rintangan dan tantangan. Mereka tidak mudah menyerah ketika menghadapi kesulitan, melainkan tetap berkomitmen untuk terus berusaha dan belajar. Mereka menghargai proses dan usaha yang diperlukan untuk mencapai tujuan, dan tidak mengharapkan keberhasilan instan.
  5. Inspirasi dari Keberhasilan Orang Lain: Orang dengan growth mindset melihat keberhasilan orang lain sebagai sumber inspirasi dan motivasi. Mereka tidak merasa terancam atau cemburu, melainkan melihat kesuksesan orang lain sebagai bukti bahwa pencapaian yang luar biasa dapat dicapai melalui upaya dan dedikasi. Mereka belajar dari orang lain, mencari contoh yang dapat diikuti, dan menggunakan kesuksesan orang lain sebagai pemicu untuk mencapai potensi pribadi mereka sendiri.

Mengembangkan diri: Apakah mengisi kelemahan atau meningkatkan kekuatan?

Kebanyakan dari orang punya mindset mengembangkan diri dengan cara mengisi kelemahan yang dimilikinya. Ketikan membahas rencana pengembangan, biasanya yang dibahas adalah “area of development” sebagai statement yang memperhalus dari kelemahan individu yang sedang dibuat rencana pengembangannya.

Memang ada dua mazhab dalam pengembangan, ada yang berfokus kepada meningkatkan kekuatan yang sudah dimiliki (berbasiskan talent yang dimilikinya), ada juga yang didasari oleh kelemahan yang dimiliki. Katanya sih yang paling bagus adalah berdasarkan kekuatan diri. Nah bagaimana caranya kita mengembangakan diri dengan didasari oleh kekuatan diri?

Strength-based Development

Markus Buckingham dalam bukunya “Finding your strength” memberikan inspirasi saya bahwa kita bisa mengembangkan diri dengan menggunakan strength yang kita miliki. Konsep Growth Mindset ini sejalan dengan konsep Strength Finder. Jika Strength Finder membantu kita mengenali kekuatan dan kelemahan kita, Growth Mindset mendorong kita untuk terus mengembangkan kemampuan tersebut, tidak hanya berfokus pada kekuatan, tapi juga kelemahan. Ini mengajarkan kita bahwa kegagalan dan kelemahan bukanlah akhir dari segalanya, melainkan awal dari sebuah proses pembelajaran dan pertumbuhan.

Contohnya, ambil seorang bernama Jon Doe. Di bawah ini adalah hasil test strength finder untuk menemukenali apa strength yang dimilikinya:

Dari gambar di atas terlihat bahwa John Doe memiliki strength dari sisi thinking. Ini terlihat dari banyaknya warna merah di area thinking. Kalau dilihat, John Doe memiliki kelemahan di sisi Striving, yang ditandai dengan warna gelap di sisi striving. Dari gambar ini adalah sosok yang lebih banyak mikir ketimbang bertindak. Tipe filosofis yang mager nggak menghasilkan apa-apa.

Di sisi lain saya berhasil me-hack strava dari John Doe:



Ada yang aneh? Bagaimana bisa seorang yang terlihat strength-nya hanya berfikir dengan discipline dan consistency hitam bisa konsisten dan disiplin dengan berolahraga rutin?

Di sinilah strength based development berbicara. John Doe memanfaatkan kekuatannya untuk mengatasi kelemahannya. John Doe memiliki kekuatan di analisa, sehingga punya kecenderungan untuk suka mengolah data. Selain itu, John Doe juga punya kekuatan di Maximizer dan Significance, yang ingin terus melihat yang terbaik. Dengan berbekal kekuatan tersebut, John Doe “mengalahkan dirinya” ketika sedang malas bangun pagi untuk berolah raga, dengan dorongan melihat grafik fitness yang terus meningkat dari waktu ke waktu.

Jadi, apa yang kita lakukan setelah memahami kekuatan kita? Apakah kita harus juga mengembangkan kelemahan kita? Jawabannya adalah: tentu saja! Bukan berarti kita harus melupakan kekuatan kita dan hanya fokus pada kelemahan. Yang dimaksud di sini adalah seimbang. Kita harus memanfaatkan kekuatan kita untuk mencapai tujuan dan impian, tapi di sisi lain, kita juga tidak boleh mengabaikan kelemahan. Mengembangkan kelemahan bukan berarti kita harus menjadi sempurna, melainkan menjadi versi terbaik dari diri kita sendiri. Ingatlah selalu, “Jangan cintai aku apa adanya”, karena kita semua berhak dan mampu untuk terus berkembang.

Hati-hati dengan jebakan Strength-Based, ini bisa membuat kita punya Fixed Mindset!

Terakhir, ada satu hal penting yang perlu diingat saat kita menggunakan alat tes psikologi seperti Strength Finder, DISC, atau MBTI. Jangan sampai kita terjebak dalam melabeli diri sendiri atau orang lain berdasarkan hasil tes tersebut. Memahami kekuatan dan kelemahan kita memang penting, tapi itu bukanlah segalanya. Kita tidak bisa mereduksi kompleksitas individu ke dalam sekelompok atribut atau label.

Kenapa demikian? Karena manusia adalah makhluk yang kompleks yang memiliki kemampuan untuk berkembang dan berubah. Kekuatan dan kelemahan kita bukanlah sesuatu yang tetap dan tidak bisa diubah. Justru sebaliknya, kita bisa belajar, berkembang, dan mengatasi kekurangan kita dengan memanfaatkan kekuatan yang kita miliki.

Ini berhubungan dengan konsep neuroplastisitas, yang menyatakan bahwa otak kita adalah organ yang elastis dan mampu berubah sepanjang hidup kita. Dengan kata lain, otak kita bisa ‘dilatih’ untuk mengembangkan kemampuan baru dan mengubah cara kerjanya. Jadi, meski Strength Finder menyatakan bahwa kita memiliki ‘striving’ yang lemah artinya orang tersebut hanya NATO (No Action Think Only), tapi dia bisa tetap menghasilkan sesuatu lho!

Contoh John Doe di atas, dalam beberapa kasus dia di-framing dengan label sebagai orang yang hanya mikir dan nggak take action. Label tersebut jadi melekat, sehingga apa yang sudah dilakukan oleh John Doe jadi tidak terlihat, tertutupi oleh labelnya sebagai pemikir. Jadi yang terlihat hanyalah sisi lemahnya saja, bukan apa yang sudah dilakukannya.

Ingat, fixed mindset punya ciri-ciri memiliki keyakinan bahwa orang memiliki Kemampuan yang Tetap, bahwa kemampuan mereka, baik itu kecerdasan, bakat, atau keterampilan, adalah sesuatu yang sudah ditentukan sejak lahir dan tidak dapat berubah. Mereka cenderung melihat diri mereka sebagai “pintar” atau “tidak pintar” tanpa melihat potensi untuk pertumbuhan.

Apakah menerima diri apa adanya = Fixed Mindset?

Untuk orang-orang dengan fixed mindset, jika melihat judul di atas, biasanya langsung berfikir bahwa menerima diri apa adanya itu adalah ciri dari fixed mindset. Ini harus diluruskan! Balik lagi, kita harus balanced. Menerima diri apa adanya juga harus dilakukan, yaitu dengan mensyukuri apa yang dimiliki saat ini. Bahwa ini semua adalah anugerah Tuhan. Bahwa kita adalah makhluk yang diciptakan Tuhan sebagai makhluk yang “sempurna”, yang sudah tertuang di dalam kitab suci. Sempurna di sini bukan berarti tidak punya kelemahan lho. Tapi, kita dianugerahi Tuhan dengan kemampuan untuk mengatasi kelemahan diri dengan plastisitas otak untuk belajar.

Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”

QS 95:4

Yang pasti, janganlah kita mem-frame dan melabel diri kita dan orang lain dengan hal apapun berdasarkan hasil tes apapun. Ingatlah selalu bahwa label bukanlah definisi kita. Kita adalah individu yang unik dan kompleks, dan kita memiliki kemampuan untuk terus belajar dan berkembang.

Jadi, terima diriku apa adanya, tapi jangan cintai aku apa adanya, karena kita semua berhak dan mampu untuk menjadi lebih baik dari hari ini.

Tinggalkan komentar

Buat situs web atau blog di WordPress.com

Atas ↑