Di tengah hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari, siapa pun bisa merasa terjebak dalam labirin kecemasan. Begitu juga dengan Susan, seorang wanita muda yang selalu merasa gelisah dan cemas menghadapi tantangan hidup. Setiap kali ada situasi yang menekan, ia seringkali merasa terancam dan cenderung menyalahkan orang lain atas kecemasannya.
Kecemasan, seperti yang dia pelajari dari sebuah buku psikologi, adalah respons terhadap ancaman nyata atau yang dibayangkan. Susan menyadari bahwa respon yang sering muncul dalam dirinya adalah ingin melawan (Fight), melarikan diri (Flight), membeku (Freeze), atau terus memikirkan/merenungkan (fret) terlalu banyak hal-hal hipotetis yang sebenarnya bukan merupakan masalah nyata yang harus dihadapi saat ini.
Setelah mengikuti proses terapi dengan seorang psikolog, Susan mulai memahami bahwa kecemasannya yang dipikirnya disebabkan oleh orang lain, justru sebagian besar disebabkan oleh fokusnya kepada orang lain. Dia selalu merasa bahwa masalah yang dia hadapi adalah akibat dari perilaku atau tindakan orang lain. Dalam pikirannya, orang lain adalah “penyebab” kecemasannya. Namun, ia menyadari bahwa kebiasaan ini sebenarnya hanya membuatnya semakin gelisah dan cemas. Ternyata, penyebabnya bukanlah orang lain, tapi justru dirinya sendiri, yaitu bagaimana dia meresponse sikap orang lain.
Suatu hari, setelah mengalami serangkaian kecemasan yang mengganggu, Susan memutuskan untuk mulai berfokus pada dirinya sendiri. Dia memutuskan untuk mengambil tanggung jawab atas respons terhadap keadaan yang dihadapinya, bukan malah menyalahkan orang lain.
Susan mulai mengamati dirinya dengan lebih jelas. Dia bertanya pada diri sendiri, dalam hubungan apa dia cenderung menyalahkan orang lain? Kapan dia mencoba mengubah orang lain untuk mengelola kecemasannya sendiri? Apa emosi dan gejala fisik yang dia alami ketika dia terlalu fokus pada orang lain?
Dengan evaluasi diri yang lebih dalam, Susan mulai memahami konflik antara fokusnya kepada orang lain dengan gambaran diri yang sebenarnya dia inginkan. Dia bertanya pada diri sendiri, apa yang seharusnya dilakukan oleh dirinya yang terbaik dalam situasi di mana dia selama ini cenderung menyalahkan orang lain?
Susan kemudian memutuskan untuk mengganti pola pikirnya yang selalu menyalahkan orang lain. Dia mulai mencari kesempatan untuk berlatih fokus pada dirinya sendiri. Susan juga mencari dukungan dari orang-orang terdekat dan sumber daya lain yang dapat membantunya lebih berfokus pada diri sendiri.
Dengan langkah-langkah ini, Susan mulai merasakan perubahan dalam cara dia menghadapi kecemasan. Dia belajar untuk lebih mengendalikan responsnya terhadap situasi dan tidak lagi terlalu fokus pada orang lain sebagai cara untuk mengelola kecemasannya. Dengan semakin memahami dirinya sendiri, Susan menemukan kunci untuk mengatasi kecemasan dan menjalani hidup dengan lebih tenang dan penuh kepercayaan pada diri sendiri.
Minggu demi minggu, Susan terus melangkah dalam perjalanan menuju pemahaman diri yang lebih dalam. Setiap hari, dia mencatat pemikiran-pemikiran negatif yang muncul dan menggantinya dengan pemikiran yang lebih positif dan membangun. Dia juga mulai mengenali pola-pola perilaku yang selama ini membuatnya terjebak dalam siklus kecemasan dan berusaha untuk merubahnya.
Dengan semakin memahami dirinya sendiri, Susan mulai merasakan kebebasan yang baru. Dia tidak lagi terjebak dalam pola pikir menyalahkan orang lain dan merasa lebih mampu untuk menghadapi tantangan hidup dengan lebih tenang dan penuh keyakinan. Susan belajar untuk menerima dirinya apa adanya dan menghargai setiap langkah kecil yang dia ambil dalam perjalanan menuju kesejahteraan mental.
Ketika Susan melihat kembali perjalanan yang telah dilaluinya, dia menyadari betapa pentingnya untuk berfokus pada diri sendiri dalam menghadapi kecemasan. Dia belajar bahwa dengan memahami dan menerima dirinya sendiri, ia dapat membangun pondasi yang kuat untuk menghadapi kehidupan dengan lebih baik.
Susan juga mulai menggali kebijaksanaan dalam dirinya yang selama ini sering terabaikan. Dia menyadari bahwa ada sisi dalam dirinya yang memiliki kekuatan dan ketenangan untuk menghadapi segala tantangan. Dengan merenungkan kebijaksanaan ini, Susan menjadi semakin yakin bahwa dia memiliki kemampuan untuk mengelola kecemasan dan menjalani hidup dengan penuh arti.
Setiap hari, Susan menghadapi situasi baru yang menuntutnya untuk tetap fokus pada diri sendiri. Dia terus mengingatkan dirinya untuk tidak terjebak dalam pola pikir menyalahkan orang lain dan mengarahkan perhatiannya pada cara-cara yang lebih konstruktif dalam mengatasi kecemasan. Susan belajar bahwa dengan mengutamakan diri sendiri, ia dapat mengembangkan kemandirian dan kekuatan batin yang diperlukan untuk menghadapi segala rintangan.
Dengan tekad dan kesabaran, Susan berhasil mengubah paradigma hidupnya. Dia tidak lagi merasa tergantung pada orang lain untuk merasa aman atau bahagia. Sebaliknya, Susan menemukan kebahagiaan yang sejati dalam dirinya sendiri, dalam kemampuannya untuk mengelola kecemasan dan menjalani hidup dengan lebih positif.
Seiring berjalannya waktu, Susan semakin menguatkan koneksi dengan diri dalam dan menemukan kedamaian yang sejati. Dia belajar bahwa menghadapi kecemasan bukanlah tentang melarikan diri atau menyalahkan orang lain, melainkan tentang melihat ke dalam diri sendiri dan mengembangkan kekuatan batin yang ada dalam diri.
Dengan penuh keyakinan, Susan melangkah ke depan dalam kehidupannya dengan sikap yang lebih bijaksana dan tenang. Dia menyadari bahwa menghadapi kecemasan memerlukan upaya dan kesadaran diri yang terus-menerus, namun hal ini adalah langkah penting dalam perjalanan menuju kesejahteraan mental dan emosional yang lebih baik.
Dengan fokus yang lebih mendalam pada diri sendiri, Susan menemukan bahwa kunci sesungguhnya untuk mengatasi kecemasan terletak pada keberanian untuk memahami dan menerima diri sendiri sepenuhnya. Dengan demikian, ia dapat hidup dengan lebih autentik, lebih kuat, dan lebih damai dalam menghadapi segala tantangan yang datang dalam kehidupannya.
Self-Focus: Kunci mengatasi kecemasan

Cerita di atas adalah adaptasi dari buku “Everything isn’t terrible” karya Kathleen Smith yang tulisannya dilandasi oleh Bowen’s theory. Buku ini mengajarkan bagaimana kita mengatasi Anxiety (kecemasan) akibat insecurity yang biasanya kita buat sendiri. Kita hidup pasti ingin meraih kebahagiaan. Tapi sering kali bukan kebahagiaan yang kita temukan, melainkan kecemasan yang kita dapatkan. Ini semua ternyata disebabkan karena kita terlalu berfokus kepada “apa kata orang”.
Anxiety timbul akibat adanya ancaman. Dan ancaman yang sering membuat kita tidak bahagia adalah apa kata orang lain tentang kita. Apakah diterima oleh orang lain atau tidak. Atau setidaknya, kita takut dimarahi oleh atasan kita.
Dan menariknya, dalam banyak kasus anxiety yang terjadi pada diri saya sendiri maupun yang saya lihat dari orang lain adalah pertanyaan “why” yang tidak tepat. Terlalu berfokus pada orang lain dan terlalu sering bertanya “mengapa” dengan cara yang tidak tepat dapat menjadi sumber kecemasan yang akut. Perilaku ini cenderung membuat individu terjebak dalam siklus penilaian yang konstan, di mana mereka mencari kesalahan atau alasan di balik tindakan orang lain, alih-alih menganalisis situasi secara objektif.
Pertanyaan “mengapa” yang diajukan dengan niat mencari kesalahan atau penjelasan yang bersifat judgemental, bukan analitikal, menimbulkan tekanan dan kecemasan karena memfokuskan perhatian pada aspek-aspek yang sering kali berada di luar kendali kita. Pendekatan ini dapat mengarah pada penghakiman diri yang keras dan penilaian yang tidak adil terhadap orang lain, sehingga mengurangi kemampuan kita untuk melihat situasi dari perspektif yang lebih sehat dan konstruktif. Dengan mengalihkan fokus dari pertanyaan “mengapa” yang bersifat judgemental menjadi pertanyaan yang lebih analitikal dan berorientasi pada solusi, kita dapat mengurangi kecemasan dan membangun pemahaman yang lebih dalam serta hubungan yang lebih positif dengan diri sendiri dan orang lain.
Seorang sahabat pernah men-challenge kepada saya, kenapa bertanya “mengapa” tidak disarankan. “Kan kita harus tau why-nya kan?” argument-nya, mengacu buku “start with why”-nya Simon Sinek. Saya langsung balik bertanya, pertanyaan why itu didasari oleh rasa ingin tahu (curiousity), atau ada unsur penghakiman (judgement) di sana? Judgement kita suka merayap di dalam pemikiran kita, sehingga mempengaruhi tindakan dan perasaan kita. Untuk mengetahui apakah pertanyaan why itu didasari oleh judgment, biasanya perasaan yang menyertai adalah perasaan marah atau kecewa. Sementara jika pertanyaan why itu didasari oleh curiousity, biasanya perasaan yang menyertai adalah perasaan netral atau yang perasaan nyaman.
Kembali ke fokus ke pada diri sendiri. Apa maksudnya berfokus pada diri sendiri? Apakah itu artinya egois? Tidak sama sekali. Berfokus pada diri sendiri bukan berarti mengabaikan atau menyakiti orang lain. Berfokus pada diri sendiri berarti mengambil tanggung jawab atas fungsi diri kita sendiri: kemampuan kita untuk merespon situasi yang ada. Lihat kata RESPONSIBILITY, yang diambil dari kata RESPONSE – ABILITY, yaitu kemampuan untuk meresponse. Fungsi diri kita tergantung pada dua hal: seberapa kuat rasa diri kita (sense of self), dan seberapa besar tekanan yang kita hadapi.
Sense of self adalah kesadaran kita akan siapa kita sebenarnya, apa yang kita inginkan, apa yang kita rasakan, apa yang kita pikirkan, apa yang kita nilai, dan apa yang kita lakukan. Sense of self yang kuat membuat kita bisa tetap tenang, percaya diri, dan mandiri dalam menghadapi situasi apapun.
Jadi, untuk meningkatkan fungsi diri kita, kita perlu meningkatkan Sense of self untuk mengurangi tekanan yang kita rasakan. Caranya adalah dengan berfokus pada diri sendiri, bukan pada orang lain. Kita perlu mengenali dan menghargai diri kita sendiri, bukan membandingkan atau menyalahkan orang lain. Kita perlu mengubah atau memperbaiki diri kita sendiri, bukan mencoba mengubah atau memperbaiki orang lain.
Bagaimana caranya berfokus pada diri sendiri? Ada tiga langkah yang bisa kita: Observe, evaluate, dan Interrupt.
- Observe: berarti memperhatikan dan menyadari perilaku dan reaksi kita sendiri dalam hubungan dengan orang lain. Kita bisa bertanya pada diri kita sendiri:
- Dalam hubungan apa saja saya cenderung menyalahkan orang lain?
- Kapan saya mencoba mengubah orang lain agar bisa mengatasi anxiety saya?
- Emosi dan gejala fisik apa yang saya rasakan ketika saya fokus pada orang lain?
- Evaluate: berarti menilai apa dampak fokus kita pada orang lain terhadap diri kita sendiri. Kita bisa bertanya pada diri kita sendiri:
- Bagaimana fokus saya pada orang lain bertentangan dengan diri yang ingin saya bentuk?
- Apa yang mungkin dilakukan oleh diri saya yang terbaik dalam situasi di mana saya biasanya menyalahkan orang lain?
- Apa hikmah yang ingin saya ingat dalam situasi tersebut?
- Interrupt: menghentikan fokus kita pada orang lain dan mengalihkannya ke diri kita sendiri. Kita bisa bertanya pada diri kita sendiri:
- Apa kesempatan-kesempatan yang akan datang bagi saya untuk berlatih menjadi fokus pada diri sendiri?
- Bagaimana saya bisa menahan diri dari fokus pada orang lain sebagai cara mengatasi anxiety saya?
- Orang dan sumber daya apa yang bisa membantu saya menjadi lebih fokus pada diri sendiri?
Saya sudah mencoba ketiga langkah ini, dan hasilnya sangat luar biasa. Saya merasa lebih tenang, lebih bahagia, dan lebih percaya diri. Saya tidak lagi menyalahkan atau mencoba mengubah orang lain, tapi menerima orang lain apa adanya. Saya juga tidak lagi membandingkan diri saya dengan orang lain, tapi bersyukur dengan apa yang saya miliki.


Tinggalkan komentar