It’s Business, (don’t) leave your emotion at the door

Susan adalah sosok eksekutif muda yang ambisius dan ingin terus berprestasi. Dengan semangat tinggi, dia berjuang keras untuk membuktikan dirinya, menjadikan karirnya gemilang dan dengan cepat mendapatkan posisi yang strategis di kantornya. Susan menjalani hidup dengan prinsip logika di atas segalanya, memandang perasaan sebagai gangguan yang harus dihindari. “It’s business, leave emotion at the door,” begitu katanya, menunjukkan bagaimana dia menolak untuk mengakui perasaannya sendiri.

Namun, ironisnya, Susan justru dipandang oleh orang lain sebagai individu yang moody dan emosional. Sering kali emosinya meledak-ledak. Ketika ada hal yang tidak sesuai rencananya dia menjadi reaktif, mudah tersulut amarah dengan pilihan kata-kata yang tajam dan menusuk. Perilaku Susan sebagai pemimpin akhirnya menciptakan lingkungan kerja yang toxic. Timnya berjalan di atas telur, takut membuat kesalahan dan cenderung berperilaku ‘Asal Ibu Senang’. Mereka menyembunyikan masalah dan hanya menampilkan hal-hal yang bagus saja untuk menghindari ‘semprotan’ dari Susan. Dan perilaku Susan tersebut justru memancing para “penjilat” yang memanfaatkan emosi Susan untuk kepentingan pribadi mereka.

Susan berfikir bahwa dengan logika, dia bisa mengendalikan semuanya. Tapi kenyataannya sebaliknya. Emosinya yang tidak terkendali menjadi perilaku, justru membuat banyak hal tidak terkendali. Performance organisasi masih tidak sesuai harapan. Growth yang dulunya tinggi, sekarang mulai flat, bahkan beberapa produk cenderung menampilkan grafik menurun. Padahal tidak ada angin, tidak ada hujan, apalagi krisis ekonomi. Semua normal, tapi competitiveness menurun. Susan pun terlihat makin frustasi, demikian pula timnya, yang makin bingung kenapa ini semua terjadi. Padahal mereka semua adalah orang-orang pintar yang logis, tapi sayangnya ternyata perilakunya cenderung emosional.

Pikiran vs Perasaan

Mengapa lingkungan kerja yang toxic dapat tercipta dari pendekatan yang tampaknya logis? Jawabannya terletak pada pemahaman yang keliru tentang peranan dan nilai dari emosi dalam pengambilan keputusan. Emosi bukan sekedar hambatan; sebaliknya, emosi berfungsi sebagai “alarm” yang menandakan adanya sesuatu yang penting dan memerlukan perhatian atau tindakan. Emosi dan pikiran bukanlah dua entitas yang terpisah, melainkan dua sisi dari kecerdasan manusia yang harus bekerja bersama untuk mencapai keputusan yang seimbang dan responsif.

Dalam “Everything Isn’t Terrible” oleh Kathleen Smith, Theory of Self-Differentiation memberikan wawasan berharga tentang bagaimana individu dapat mengembangkan kemampuan untuk memisahkan emosi dari pikiran. Memisahkan di sini bukan berarti mempertentangkan, tapi bisa memahami serta bisa memanfaatkan kapan menggunakan emosi dan kapan menggunakan pikiran agar perilaku kita produktif. Orang yang mampu memisahkan pikiran dan perasaan tersebut adalah orang yang memiliki tingkat diferensiasi yang tinggi.

Orang dengan tingkat diferensiasi diri yang tinggi dapat menenangkan diri, berpikir jernih di bawah tekanan, dan tidak mudah terpengaruh oleh kecemasan orang lain. Mereka mampu berpartisipasi dalam hubungan yang intim dan tegang sekalipun, menunjukkan kedewasaan emosional dan kemampuan untuk merespons dengan matang.

Susan, dengan tidak menyadari atau bahkan menolak keberadaan emosinya, cenderung bereaksi secara impulsif daripada merespons dengan pertimbangan. Bereaksi seperti ini seringkali didasari oleh kecemasan dan didorong oleh emosi, sehingga tidak mencerminkan perilaku yang matang. Inilah sikap reaktif.

Sedangkan merespons berarti bertindak dari tempat yang didasari oleh pemikiran logis, pertimbangan matang, dan kesadaran diri, yang merupakan ciri orang dengan diferensiasi diri yang tinggi. Inilah sikap yang proaktif, berfikir terlebih dahulu sebelum bertindak. Dalam kasus Susan, karena dia tidak menyadari, atau bahkan menolak emosinya, justru emosinya yang mengambil alih tindakannya, mengalahkan pikirannya, tanpa Susan sadari! Sikap reaktif sering kali dilakukan tanpa sadar lho.

Untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih mendukung dan produktif, Susan perlu mengakui bahwa emosi memiliki peran penting dalam pembuatan keputusan. Dia perlu mengembangkan kesadaran tentang emosinya sendiri dan belajar bagaimana emosi dan pikiran dapat bekerja bersama, bukan berlawanan. Dengan cara ini, Susan dapat menemukan keseimbangan antara merespons situasi dengan cara yang matang dan efektif, sekaligus menjadi pemimpin yang lebih adaptif dan dihormati.

Pengembangan diri Susan dalam mengintegrasikan emosi dan pikiran membutuhkan waktu, refleksi diri, dan kemauan untuk menghadapi serta mengelola emosi yang sulit. Dengan memfokuskan pada pengembangan kedewasaan emosional dan kepemimpinan yang efektif, Susan dapat mengubah lingkungan kerjanya menjadi tempat yang lebih positif, di mana setiap anggota tim merasa dihargai, didengarkan, dan termotivasi untuk memberikan yang terbaik.

Perjalanan Susan mengajarkan kita pentingnya keseimbangan antara emosi dan logika dalam kepemimpinan. Kedewasaan emosional, yang ditandai dengan kemampuan untuk mengintegrasikan emosi dan pikiran, bukan hanya membuat individu menjadi pemimpin yang lebih baik, tetapi juga menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan produktif. Dengan mengakui dan memeluk kedua aspek ini, kita dapat meraih keberhasilan tidak hanya dalam karir, tetapi juga dalam setiap aspek kehidupan kita.

Tinggalkan komentar

Buat situs web atau blog di WordPress.com

Atas ↑