Sudah 5 hari kita lalui hari raya Idul Fitri. Hari raya yang bagi muslim adalah hari di mana kita merayakan kemenangan setelah sebulan penuh menjalani ibadah puasa, melawan hawa nafsu. Setiap mendengar orang bersuka ria merayakan hari raya idul fitri, saya selalu tergelitik. Apakah kita benar-benar merayakan kemenangan? Apakah kita benar-benar sukses melawan hawa nafsu kita sehingga kita benar-benar mencapai tujuan dari shaum di bulan Ramadhan, yaitu mencapai ketakwaan?
Mari kita lihat lagi, tujuan dari berpuasa/shaum, adalah agar kita menjadi orang yang bertaqwa. Jadi, saat berpuasa adalah media kita untuk berlatih agar menjadi orang yang bertaqwa. Di bulan Ramadhan, kita belajar untuk mengendalikan nafsu, serta belajar/latihan untuk beribadah secara intensif. Dengan insentif pahala yang dilebihkan, diharapkan orang akan terlatih untuk mengendalikan nafsu dan beribadah kepada Allah SWT. Bulan Ramadhan adalah sekolah/training bagi orang yang beriman. Ibarat sekolah/training, yang terpenting adalah sesungguhnya saat setelah sekolah/training tersebut. Seorang MBA yang sudah lulus dari kuliahnya, justru diuji secara real di dunia nyata. Seorang yang cum laude di sekolahnya, belum tentu “cum laude” di dunia nyata.
Lalu bagaimana dengan sekolah di bulan Ramadhan? Pertanyaan pertama yang justru kita tanyakan lagi adalah apakah kita benar-benar sukses di saat sekolah/training di bulan Ramadhan? Apakah kita sudah benar-benar mengendalikan nafsu amarah di jalanan raya ketika kemacetan total harus dihadapi menjelang buka puasa? Apakah kita bisa mengendalikan nafsu amarah di kantor ketika meeting tidak mencapai objective yang diinginkan? Apakah kita dapat beribadah dengan khusu’ di pagi, siang, dan malam hari? Apakah kita bisa setidaknya membaca Al Quran secara reguler? (jangan tanya khatam apalagi mengkaji secara mendalam). Masih banyak pertanyaan reflektif yang mempertanyakan apakah kita sukses menjalani sekolah/training di bulan Ramadhan. Itu masih dalam tataran kesuksesan sekolah/training saja. Jika pada saat sekolah/training tersebut sudah sukses, pertanyaan selanjutnya adalah apakah kemampuan mengendalikan nafsu serta kekhusu’an ibadah tetap bisa dibawa hingga 11 bulan ke depan setelah Ramadhan berakhir?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut mungkin perlu kita renungkan pada saat Ramadhan berakhir, bukan justru melampiaskan nafsu belanja menghabiskan THR yang baru diperolehnya. Jangan sampai, waktu sekolah/training selama sebulan penuh terbuang percuma. Dan kita “merayakan” hari kemenangan bagaikan anak2 SMA yang merayakan kelulusan ujian nasional yang semu, padahal selama sekolah mereka tidak mendapat apa-apa dan mereka sesungguhnya tidak siap menghadapi dunia nyata. Jangan-jangan perayaan hari kemenangan tersebut justru perayaan kemenangan bagi setan yang sukses menanamkan rasa kemenangan semu di hati kita semua.
Tinggalkan Balasan