Alkisah ada seorang tukang kayu yang diberi proyek seorang saudagar di desa sebelah. Pekerjaannya cukup rumit dan memakan waktu hingga larut malam. Setelah menyelesaikannya, sang tukang kayu tampak lelah. Karena sudah larut malam, saudagar tersebut akhirnya memutuskan untuk mengantar sang tukang kayu ke rumahnya.
Setelah sampai di rumahnya, sang tukang kayu pamit dan segera turun. Awalnya saudagar tersebut akan segera pulang karena sudah malam. Tapi tak sengaja saudagar tersebut melihat sang tukang kayu berhenti sejenak di dekat sebuah pohon besar, kemudian menempelkan tangannya di batang pohon tersebut dan memejamkan matanya. Tukang kayu tersebut cukup lama melakukan “ritual” tersebut. Tiba-tiba tukang kayu tersebut melepaskan pegangannya, kemudian menarik napas panjang dan berjalan menuju pintu masuk rumahnya. Penasaran akan kejadian ini, sang saudagar bergegas turun dari kereta kudanya, kemudian mengejar sang tukang kayu.
“Pak, kalau boleh tahu, apa yang Anda lakukan tadi di pohon besar itu?”, tanya sang saudagar. “Oh, itu… tadi saya melepaskan semua permasalahan pekerjaan saya tadi di pohon tersebut agar permasalahan2 tersebut tidak terbawa ke rumah. Dengan demikian, keluarga saya tidak akan terimbas oleh permasalahan2 yang saya hadapi. Besok pagi akan saya ambil lagi permasalahan tersebut. Dan setiap saya ambil lagi, permasalahan tersebut terasa jauh lebih ringan!”
Sering kita merasakan bahwa permasalahan kantor terbawa-bawa ke rumah. Anak yang minta diajarkan PR, langsung dihardik:” Kamu apa nggak ngerti ya kalo Bapak pusing? Bapak capek kerja seharian!”.
Kejadian ini disebut sebagai kebocoran emosi. Emosi kok bocor? Iya, karena sesungguhnya emosi tersebut harusnya hanya ada di kantor, bukan di rumah. Seharusnya, di rumah emosi yang ada adalah emosi yang senang-senang main dengan anak istri, dsb. Menurut penelitian, kalo mau sukses kita harus bisa memperkecil kebocoran emosi kita. Singkatnya, kita bisa menempatkan emosi kita di saat dan tempat yang tepat. Marah di kantor, ya jangan di bawa ke rumah. Katanya sih, para CEO, cenderung punya kebocoran emosi yang sangat kecil. Dan itu bener-bener saya dengar sendiri. Presdir perusahaan saya (tempat saya kerja, bukan perusahaan milik saya loh), Pak Yo, juga punya kebocoran emosi yang luar biasa terkendali. Suatu saat, ketika beliau menghadapi masalah pelik produksi. Wajahnya terlihat lelah menghadapi masalah ini. Tiba-tiba sang sekretaris menelpon memberitahukan kedatangan CEO perusahaan lain yang direncanakan akan merger dengan perusahaan saya. “OK, saya terima”, kata beliau. Langsung raut wajahnya berubah terlihat sangat segar dan senang ketika menyambut rekannya tersebut. Beliau tetap ingin menampilkan image, bahwa perusahaannya adalah perusahaan yang kuat dan tidak memiliki permasalahan yang berarti, walaupun saat itu dia sedang menghadapi masalah yang rumit. Manager saya (yang nyeritain cerita ini ke saya) agak terheran-heran melihat perubahan emosi yang sangat drastis yang ditampilkan oleh CEOnya itu. Dan beliau juga mampu membedakan suasana antara satu meeting dengan meeting lainnya, karena ya masalahnya beda-beda. Belau tidak membawa masalah pada meeting sebelumnya ke meeting sesudahnya.
Yah… ternyata penelitian tersebut sudah terbukti terlihat. So, sekali lagi, kalau mau sukses, letakkanlah emosi kita di tempat yang tepat. Jangan bawa-bawa emosi ke tempat yang lain, yang nggak nyambung. Kita mau sukses seperti para CEO itu kan?
From: Smart emotion capsule, by Antony Dio Martin.
Tinggalkan Balasan