Apa itu leader/pemimpin? Banyak yang mendefinisikan leaders itu apa. Tapi yang membekas bagi saya adalah definisi leader yang saya dapat ketika saya ospek dulu. Leader adalah dia yang mengetahui arah ke mana yang harus dituju. Dia juga menunjukkan jalan menuju arah tersebut. Dan dia juga berjalan menuju tujan tersebut. Seorang pemimpin bukanlah konsultan yang hanya menunjukkan arah tapi membiarkan client nya yang menjalankan. Seorang pemimpin bukanlah boss yang bisanya hanya menyuruh-nyuruh anak buahnya. Tapi seorang pemimpin adalah orang yang bisa melakukan apa yang diperintahkannya. Seorang pemimpin yang ideal memiliki visi yang bisa menggerakkan pengikutnya.
Nah… persoalannya adalah, dengan kondisi VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, dan Ambiguity) menyebabkan banyak ketidakjelasan di masa mendatang. Para leaders menghadapi situasi yang semakin sulit. Kebingungan melanda karena ketidakpastian menghadang. Para followernya pun berharap leadersnya tetap menjadi efektif untuk menunjukkan arah dan jalan yang benar. Dengan konteks VUCA tersebut, bagaimana seorang leaders tetap bisa efektif untuk mengetahui jalan yang benar dan menunjukkannya kepada pengikutnya?
Dengan situasi VUCA tersebut, seorang pemimpin harus lebih lincah dan inovatif.
Namun, apa itu agile? Apa itu inovatif. Nah, tulisan di bawah ini kita akan membahas lebih detail apa itu agile, dan apa itu inovatif. Tulisan ini adalah berdasarkan atas pemahaman dan pengalaman saya tentang praktik leadership agilility, jadi saya tidak akan membawakan cerita tentang agile manifesto, scrum dsb. Saya juga tidak akan membawakan cerita inovasi dari Clayton Christensen dkk, tapi memang berdasarkan pemahaman dan intisari dari apa yang pernah saya baca dan praktikan juga.

Innovatif
Pertanyaannya. Apa itu inovatif? Apakah menemukan sesuatu yang baru adalah inovasi? Kalau kita mengacu pada definisi an sich, ya memang inovasi adalah penemuan baru. Namun jika menggunakan definisi yang kekinian, Inovasi adalah penemuan (invention) + commercialization. Artinya, sesuatu penemuan bisa dikatakan sebagai inovasi jika penemuan tersebut dapat dijual dan menguntungkan.
Lalu apakah inovasi itu artinya harus melulu bicara uang? Secara idealisme, statement ini kurang disetujui oleh banyak orang. Karena statement “komersialisasi” berbau pragmatisme, dan berkesan materialistis. Tapi saya setuju dengan definisi ini, karena komersialisasi menunjukkan bahwa inovasi tersebut memberikan value added sehingga orang rela mengeluarkan uang untuk memanfaatkan. Jadi, kalau penemuan tersebut tidak ada yang mau membeli, sudah jelas penemuan tersebut tidak memberikan value kepada masyarakat.
Untuk bisa memiliki jiwa inovatif, kita diharapkan dapat:
- Memahami custsomer
- Co-create dengan customer kita
- Tentukan keunikan diri kita
- Miliki business acumen
Memahami siapa customer kita
Nah, untuk bisa memahami apa yang di-value oleh orang adalah dengan memahami siapa customer yang akan menggunakan karya inovasi kita. Merekalah yang “membiayai” belanjaan (groceries) kita. Untuk bisa memahami mereka, kita harus dekat dengan mereka, dan kita harus bisa peka dengan apa yang mereka inginkan dan butuhkan.
Untuk bisa memahami customer kita, kita perlu mengamati, apa yang mereka lakukan (what’s their job), apa kesulitan mereka ketika melakukan nya (pain) dan apa yang mereka dapatkan dari kegiatan mereka tersebut?

Sekali lagi saya tekankan, untuk bisa memahami customer kita dengan baik, kita harus dekat dengan mereka. Guanakan empati kita, seolah-olah kita adalah mereka. Kita coba lihat, selama ini mereka menggunakan produk siapa untuk menjalankan aktivitas mereka. Apa pain mereka yang belum bisa dipenuhi oleh produk/service yang mereka gunakan selama ini? Dan apa kelebihan produk/layanan tersebut yang membuat mereka tetap menggunakan produk tersebut?
Co-create dengan customer kita
Setelah memahami siapa customer kita, libatkan mereka dalam pembuatan produk kita. Buat prototipe, segera dapatkan feedback dari mereka, sehingga dengan iterasi yang cepat, kita akan mendapatkan produk yang dapat menjadi pain reliever atau gain creators yang diharapkan oleh customer kita.

Tentukan keunikan diri kita (find your own signature)
Menjadi unik dan berbeda merupakan esensi dari strategi. Membuat inovasi yang belum pernah ditawarkan oleh orang lain sudah tentu merpakan pembeda dari orang lain. Tapi, untuk berfikir inovatif, sudah tentu kita harus punya pola pikir untuk menjadi berbeda dengan orang lain. Dengan berupaya memiliki keunikan, otak kreatif kita akan terpicu, sehingga kita akan terlatih untuk memiliki jiwa yang inovatif.
Miliki business acumen

Jika inovasi tidak membutuhkan komersialisasi, maka business acumen tidak dibutuhkan. Namun, saya merasa business acumen, atau pemahaman kita akan bisnis, sangat penting agar pola pikir kita adalah memberikan value added. Nah, business itu apa sih sebenernya? Saya memiliki definisi bahwa bisnis merupakan exchange of values. Jadi, kita memiliki value proposition yang ditawarkan kepada customer, kemudian customer merasa value yang ditawarkan kepadanya lebih tinggi ketimbang harganya, sehingga mereka akan membelinya. Nah, sebuah bisnis juga bernilai tinggi, apabila harga yang dibayarkan oleh customer kita lebih tinggi ketimbang cost yang dibutuhkan untuk menghasilkan value proposition tersebut. Disinilah yang saya sebut sebagai value creation. Secara finansial, kita mampu menghasilkan value proposition yang profitable (artinya revenue lebih besar dari cost-nya), sekaligus juga intrinsic value tersebut lebih besar ketimbang harga yang dibayarkan oleh customer.
Untuk memiliki business acumen, saya menggunakan business model canvass yang menggambarkan dengan baik, bagaimana value exchange antara kita dengan customer terjalin dengan baik.
Menjadi Lincah (Agile)
Paralel dengan menjadi diri yang inovatif, kita juga harus membangun diri kita untuk menjadi agile, yang menurut saya memiliki sifat-sifat sebagai berikut:
- Jadilah individu yang peka (be sensible)
- Siap dengan berbagai perubahan (Adaptif)
- Tangguh (resilient)
- Pembelajar terus menerus (lifelong learning)
- Kolaborasi
Belajar jadi Individu yang peka

Kepekaan terhadap lingkungan sekitar dapat dibangun dengan belajar untuk mindful. Apa itu mindful? Mindful adalah kesadaran secara penuh tentang apa yang terjadi saat ini di sini (right here, right now). Coba kita sadari, ketika kita sedang membaca tulisan saya ini, pikiran kita sedang ada di mana? Apakah benar-benar memahami tulisan ini, atau sedang melayang-layang dengan pikiran nanti mau makan apa? Atau kejadian tadi pagi di saat olah raga pagi? Sering kali pikiran kita sulit dikendalikan untuk benar-benar merasakan dan memahami yang terjadi saat ini. Inilah yang membuat kita menjadi kurang peka dengan apa yang sedang terjadi di sekitar kita. Padahal, untuk menjadi orang yang lincah, sudah barang tentu kita harus paham dengan apa yang sedang terjadi di sekitar kita, SAAT INI!
Belajar menjadi mindful sangatlah sederhana. Cukup sadari, pikiran kita sedang ngapain saat ini. Ketika pikiran kita membajak untuk mengingat masa lalu atau memikirkan masa depan, sadari segera, kemudian kembali fokus dengan apa yang dihadapi di depan mata kita. Kalau saya, latihan ini saya lakukan dikala olah raga. Ketika pikiran kembali ke pekerjaan, yang saya lakukan adalah kembali menikmati suara alam, desiran angin, dan perhatikan langkah dan nafas yang sedang kita jalankan. Notice what you notice. Dengan demikian, kita akan semakin peka dengan yang terjadi di sekitar kita, bahkan dengan apa yang akan terjadi di masa mendatang!
Siap dengan berbagai perubahan
Dengan kepekaan yang kita miliki, siaplah dengan situasi di sekitar yang berubah-ubah. Embrace the change, karena perubahan itu adalah hal yang pasti. Persiapan itu penting, tapi kita harus selalu siap untuk berimprovisasi karena kejutan selalu ada saja di perjalanan. Siapkan selalu contigency plan, sekaligus juga cadangan resources agar kita tidak kaget dengan perubahan yang terjadi.

Jadi pribadi yang tangguh (resilient)
Resilient merupakan sifat orang yang tahan banting, yang ketika mendapatkan cobaan, jatuhnya tidak terlalu dalam, dan segera bangkit. Untuk melatih menjadi pribadi yang tangguh, caranya adalah… ya sering-sering menghadapi cobaan. Kalau saya kadang-kadang suka “cari penyakit”. Coba hal baru yang beresiko, tapi tentu saja yang terukur. Kita juga bisa belajar tangguh dengan memiliki teman-teman yang dapat menguatkan diri kita.

Pembelajar
Saya pernah mendengar, di masa mendatang 500 ribu jenis pekerjaan akan hilang. Tapi, tidak usah menunggu masa mendatang, hari ini saja sudah banyak pekerjaan yang hilang: petugas tol yang diganti dengan gerbang tol otomatis, kameramen udara yang digantikan oleh drone. Dengan situasi ini, satu-satunya yang kita harus lakukan adalah terus memastikan pengetahuan dan skill kita relevan dengan jaman. Dan itu hanya dilakukan dengan terus belajar hal baru. Yang pasti, untuk melakukannya, dibutuhkan intellectual humility, yaitu kerendahan hati yang menyadari bahwa kita masih ada saja kurang tahunya. Dengan intellectual humility, kita akan siap belajar dari siapapun, termasuk dari orang yang jauh lebih junior dari kita.

Kolaborasi.
Untuk menjadi pribadi yang lincah, sudah jelas kita tidak mungkin melakukannya sendiri. Masa kini dan masa depan terlalu rumit untuk kita hadapi sendirian. Dengan kelemahan dan kekuatan yang kita miliki, kita harus bersinergi dengan tim kita sehingga kita bisa menghadapi masa depan yang semakin rumit.
Akhir kata
Kembali dengan definisi pemimpin yang saya tuliskan di atas, bahwa dengan konteks VUCA, sepertinya sulit untuk menjadi leader yang effektif. Dengan demikian, agar efektif seorang leader haruslah dapat meng-engage customer dan tim kita untuk menemukan jalan di masa depan dan bersama mereka melaluinya.

Tulisan ini terinspirasi dari webinar pra event lead the fest 2021 di bawah ini:
Tinggalkan Balasan