Beberapa bulan yang lalu, saya bertemu dengan senior saya (baca: guru) yang mendadak ingin bertemu untuk “minta belajar” OD dari saya. Saat itu saya berpikir, nggak salah pengen belajar dari saya? Lha wong saya juga masih belajar? Tapi ya sudah, saya memang ingin ketemu karena sudah lama nggak bersua. Syaratnya: kita diskusi ya, bukan saya mengajari. Akhirnya saya bertemu dengan beliau bersama teman-temannya, yang juga senior-senior saya. Mereka adalah para master dalam people assessment. Dalam perjalanan bisnisnya, akhirnya mereka terlibat juga dalam konsultasi organisasi. Ini alasan mereka ingin belajar apa itu OD. Saya akhirnya menjelaskan OD itu apa, dan mencoba mengkaitkan dengan konteks permasalahan yang mereka hadapi di client-nya. Saat itu mereka sedang membantu perusahaan yang (mungkin) sedang mengalami masa transformasi. Market sharenya sangat baik (nomor satu di segment-nya kalau nggak salah). Organisasinya saat ini semakin besar, diiringi pertumbuhn bisnis. Saat ini semua terlihat baik-baik saja. Namun para senior saya selaku tim konsultan melihat adanya potensi masalah: ketidakjelasan jalur karir, bagaimana me-retain para talent tersebut jika jalur karir belum jelas. Mereka melihat, perusahaan ini belum memiliki struktur organisasi dan job description yang jelas. Selain itu SOP dsb juga belum ada. Diskusi ini membuat saya berpikir dan mengkaitkannya dengan konsep competing values framework, dari buku ini:
Di dalam buku ini, kecenderungan culture perusahaan dapat digambarkan dalam gambar di bawah ini:
Ayok kita coba bahas satu-satu.
Collaborate Culture: kekeluargaan dan kebersamaan
Culture yang dulunya bernama Clan ini mengedepankan kekeluargaan. Kalau organisasi kita rasanya seperti keluarga kedua, maka sudah pasti culture di organisasi kita adalah collaborate. Biasanya pimpinan di organisasi ini dianggap sebagai “bapak” atau “ibu”. Dan hubungan antar karyawan pun seperti saudara sendiri. Biasanya suasana kerja di organisasi seperti ini rasanya “homy”. Seperti keluarga, pengambilan keputusan biasanya diambil secara kolektif. Gaya kepemimpinannya karena kebapakan atau keibuan, biasanya rasanya seperti mentoring dan “mendidik anak”. Seperti halnya keluarga, terkadang kecemburuan antar anak bisa terjadi. Orang tua yang merasa fair mencintai seluruh anaknya, namun tetap ada “anak kesayangan” yang bikin cemburu anggota keluarga lain. Biasanya organisasi yang memiliki culture ini adalah perusahaan keluarga yang ukurannya masih kecil.
Control culture: Standard dan efisien
Dalam culture ini, organisasi rasanya semua dibuat standard. Makanya dibuatlah SOP atau bahkan diterapkan ISO9001. Targetnya adalah efisiensi dan standardisasi. Apa-apa dikembalikan ke prosedur atau standard. Yang penting proses-nya smooth, nggak suka ada gangguan di tengah jalan. Dalam organisasi ini orang rasanya kayak “robot”, karena kreatifitas tidak terlalu diharapkan. Pokoknya “you follow the rules, and everything’s gonna be okay“. Biasanya, perusahaan manufaktur culturenya seperti ini. Karena mereka harus menjaga konsistensi dan kualitas produksinya.
Compete culture: Ingin cepat dan menang!
Organisasi dengan culture ini rasanya seru dan “menegangkan”. Fokusnya adalah hasil, yang diharapkan adalah kemenangan. Dalam beberapa kasus, bahkan kompetisi di antara anggota organisasi bahkan diciptakan, karena mentalnya adalah pengen menang! Biasanya organisasi yang memiliki culture ini adalah perusahaan yang bergerak di bidang sales atau memang yang industrinya sangat kompetitif. Lihat aja statement top management-nya kalau yang dibicarakan adalah market share atau bottom line, udah jelas culturenya adalah compete. Contohnya: General Electric. Dulu, Jack Welch pernah mencanangkan sebuah bisnis should be number one or two, otherwise it’s sold.
Create culture: Entrepreneur dan inovatif.
Organisasi ini sangat mengedepankan inovasi. Suasana kerjanya dinamis dan berani ambil resiko. Ukuran keberhasilan yang utama bukan market share atau bottom line (walaupun tetap penting karena itu yang diminta shareholder), tapi seberapa inovatif produk yang dihasilkannya. Contoh perusahaan yang menerapkan culture ini adalah Apple atau google. Memang trend saat ini inovasi adalah buzzword yang disukai orang. Tapi jangan salah, walaupun perusahaan berkoar-koar inovasi, coba lihat, inovasi apa yang dihasilkan dan dirasakan oleh customer? Ada satu merek yang taglinenya bahkan dibumbui oleh kata innovation. Saya pernah bertanya dengan orang dalam di merek itu, inovasinya di mana? Ternyata inovasinya adalah dalam proses. Perusahaan ini bisa membuat pabrik yang sama dengan investasi setengahnya. Okay… make sense. Tapi apakah artinya culture perusahaan itu adalah create? Coba lihat kesehariannya. Ternyata tetap suasananya menjunjung tinggi standard, karena merek ini memang memproduksi barang yang low cost. Apakah dinamika dan pengambilan resiko di-endorse? Sepertinya tidak. Nah… kalau begini, culturenya tentunya bukan create, melainkan control.
Culture yang paling hebat
Lalu, adakah culture yang paling hebat? Saat ini, memang yang sedang nge-trend adalah culture create yang inovatif. Dengan kondisi VUCA seperti ini, organisasi yang agile dianggap sebagai pemenang. Coba lihat core values perusahaan-perusahaan jaman now. Sebagian besar memasukkan unsur inovasi di dalamnya. Apakah artinya culturenya sekarang kebanyakan create? Belum tentu! Berbeda dengan beberapa dekade yang lalu, di mana ilmu manajemen justru berpihak kepada standard (makanya management system jadi komoditi laku) dan kompetisi. Coba lihat buku-buku era 90-an dan awal 2000an yang mengedepankan kompetisi dan standardisasi. Sekarang suanananya sangatlah berbeda.
Lalu, apakah semua perusahaan harus memiliki culture create? Belum tentu. Semuanya harus sesuai konteksnya. Perusahaan di dalam industri yang sangat highly regulated cenderung memiliki warna control di dalamnya. Oh ya, dalam sebuah organisasi, walaupun memiliki warna di dalam satu atau dua culture, tetap memiliki unsur culture lainnya. Seperti pada contoh perusahaan yang memiliki tagline innovative di atas, walaupun secara umum memiliki culturecontrol, tetap memiliki unsur create. Karena, pasti dibutuhkan kreatifitas dalam menjalankan process engineering yang lebih baik. Contoh lainnya, di industri ke-pelabuhan-an yang highly regulated oleh pemerintah atau client-nya, sebuah perusahaan tentunya harus comply dengan standard. Dengan demikian, warna culture-nya tentu control. Namun, dengan segala keterbatasan fasilitasnya, perusahaan ini justru mengendorse kreativitas tim-nya sehingga dapat men-deliver keinginan client, tanpa harus memiliki fasilitas yang lebih mahal. Dengan demikian, walaupun warna culture perusahaan tersebut adalah control, tidak serta merta perusahaan tersebut tidak memiliki warna create sama sekali. Hanya saja create yang dimiliki tidak sekental perusahaan yang memang memiliki warna create yang kental seperti start up company.
Hal ini dapat terlihat pada gambar culture yang berlaku di dalam sebuah organisasi dalam bentuk diagram seperti contoh perusahaan X di bawah ini:
Courtesy: ocai-online.com
Gambar di atas menunjukkan bahwa culture yang dominan di perusahaan X saat ini cukup seimbang antara collaborate, control dan compete. Sementara harapan (atau preferensi) dari karyawan adalah cenderung ingin dominan di collaborate. Nah… ini ada indikasi masalah. Antara kenyataan dan harapan tidak sesuai. Di sini terjadi indikasi adanya masalah culture fit di dalam organisasi tersebut. Oh ya, cara mendapatkan gambar tersebut ada metode-nya yaitu metode OCAI (Organizational Culture Assessment Instrument).
Culture-value fit selama ini kita hanya bisa merasakan, tapi sulit menggambarkan bagaimana ini bisa terjadi. Dan gambar di atas bisa mendeskripsikan bagaimana culture-value fit terjadi di dalam organisasi. Bayangkan sebuah organisasi yang isinya adalah orang-orang yang mencintai kemapanan, dipaksa untuk berkreasi dan berinovasi. Atau sebaliknya, anak-anak kreatif dibrangus oleh standar dan biokrasi. Atau orang-orang yang senang bekerja cepat dan berkompetisi, tapi dipaksa untuk mengambil keputusan secara kolektif, kelamaan! Gambar di atas bisa menjelaskannya. Garis merah adalah yang dirasakan (berarti yang terjadi di dalam organisasi), sementara yang warna biru adalah yang diharapkan oleh karyawan (bisa mewakili karakteristik mereka, atau preferred values).
Evolusi culture
Nah, sekarang kita mulai membahas bagaimana masalah culture-value fit bisa terjadi. Once upon a time, perusahaan dibangun oleh owner sebagai perusahaan kecil dengan jumlah orang seadanya. Contoh kita ambil Apple.inc. Pada awal mulanya terbentuk, biasanya segalanya dikerjakan bersama, dan karakteristik start up adalah mencari produk yang fit, dan nuansa entrepreneurship sangat kental di sini. Karena team-nya sedikit, maka perusahaan rasanya seperti extended family. Pengembangan produk dan orang menjadi fokus di awal Pada awal mulanya, culture yang terjadi biasanya bentuk dominannya adalah collaborate atau create atau keduanya.
Seiring dengan berjalannya waktu, ketika perusahaan semakin bertumbuh dan membesar, tentunya ingin mempertahankan kesuksesannya. Jumlah orang bertambah banyak, dan semakin sulit mendapatkan orang yang kualitasnya seperti di awal. Karena itulah, biasanya perusahaan keluarga secara sengaja atau tidak sengaja bertransformasi menjadi perusahaan yang so called profesional. SOP dan manajemen sistem diperkenalkan. Standardisasi dan ISO diberlakukan. Atau bahkan karena sudah addicted by success, perusahaan yang awalnya berfokus pada pengembangan orang dan produk, sekarang fokusnya adalah market share dan bottom line. Ketika transformasi terjadi, biasanya ada peralihan kepemilikan dari orang tua ke generasi kedua yang biasanya didikan MBA luar negeri. Kalau tidak dialihkan ke generasi keturunannya, terkadang suksesi kepemimpinan langsung diambil alih oleh para profesional. Bagaimana pendidikan para profesional tersebut? Tentu saja pendidikan yang bernuansa stabilitas yang akan membentuk culture control dan atau compete. Selama saya 6 tahun kuliah (maaf, ini S1 dan S2, saya bukan mahasiswa abadi), rasa isi kuliahnya sangat kental dengan control dan compete. Karena biasa terdidik text book thinking, entrepreneurship kurang terlihat pada diri mereka. Tidak heranlah maka terjadi pergeseran culture yang mulanya collaborate dan create, menjadi control dan compete.
Nah, di sinilah masalah culture fit terjadi. Ketika terjadi transformasi tentu saja kita tidak memecat seluruh karyawan dan menggantinya dengan yang baru kan? Para karyawan lama yang sudah merasakan “nyamannya” budaya kekeluargaan menjadi gelisah karena dipaksa harus berkompetisi. Atau yang biasanya budaya fleksible dan kreatif, kebebasannya dibrangus oleh standard dan sistem. Efeknya, orang-orang lama bisa saja keluar, atau bahkan menjadi passive aggressive, merusak dari dalam. Jika kita tidak memahami konsep competing values di atas, maka kita tidak akan mengelola transformasi ini dengan benar. Yang ada malah terjadi kebingungan budaya. Seperti pada contoh perusahaan X di atas, budaya saat ini yang cenderung control dan compete, walaupun ada suasana collaborate, sementara karyawan masih susah move on, ingin kembali ke masa kejayaan lampau, yaitu di culture collaborate.
Masalah berikutnya akan datang di masa sekarang. Dengan konteks VUCA dan berkembangnya konsep Agility, kelihatannya perusahaan juga akan bertransformasi kembali ke culture create. Kebayang kan, kalau culture perusahaan sudah digeser ke bawah, sekarang mau digeser ke atas lagi. Apa karyawan nggak bingung tuh, mau apa sih perusahaan? Transformasi tahap dua saja belum beres, ini sudah mau balik lagi kembali seperti dulu.
So What?
Untuk meminimalisir (bukan mencegah ya) masalah culture-values fit, yang jelas perusahaan harus memahami benar konteks kenapa kita harus bertransformasi, yaitu strategic intent yang clear memberikan sense of urgency. Setelah itu, kita harus meng-assess kesiapan anggota organisasi untuk bertransformasi. Salah satu tools yang bisa digunakan adalah management skill assessment instrument (MSAI). Jika kita menggunakan competing values framework, maka MSAI ini dapat digunakan karena frameworknya align. Dengan menggunakan tools ini, kita melihat kecenderungan management skills dari masing-masing pimpinan, apakah sesuai dengan culture yang ingin dibentuk. Dua belas kompetensi atau management skill yang disesuaikan dengan culture yang ingin dibentuk adalah sebagai berikut:
1. Collaborate (Clan)
- Managing teams
- Managing interpersonal relationships
- Managing the development of others
2. Control (Hierarchy)
- Managing acculturation
- Managing the control system
- Managing coordination
3. Compete (Market)
- Managing competitiveness
- Energizing employees
- Managing customer service
4. Create (Adhocracy)
- Managing innovation
- Managing the future
- Managing continuous improvement.
Setelah para leader di-assess kompetensinya, kita akan dapat memetakan kesiapan mereka bertransformasi. Kebayang kan, kalau saat ini (akibat transformasi tahap kedua yang menggeser ke bawah), banyak manager yang memiliki skill control system dan coordination yang kuat, sementara perusahaan akan bergeser ke culture create yang membutuhkan kompetensi managing innovation? Lalu apakah kita dengan serta-merta men-training para manager tersebut untuk memiliki kompetensi yang diharapkan? Iya, tapi cek dulu preferensi cara berfikir para manager tersebut. Kita bisa menggunakan framework dari the Herrman Brain Dominance Instrument (HBDI) seperti gambar di bawah ini:
Courtesy: http://www.herrmannsolutions.com
Untuk lebih detail konsep HBDI, bisa click di link atas. Kembali ke contoh di atas, coba cek preferensi para manager tersebut, apakah mereka memiliki kecenderungan preferensi practical sehingga mereka cenderung memiliki skill yang kuat dalam managing coordination, control system dan acculturation? Bagaimana preferensi mereka terhadap pola pikir experimental? Jika ternyata preferensi berpikir experimental mereka rendah, mengajarkan managing the future dan innovation sama saja mengajarkan ikan untuk terbang seperti burung.
Kembali ke kasus yang saya sampaikan di awal. Apakah perusahaan keluarga tersebut membutuhkan SOP dsb? Lalu bagaimana dengan team inovasi, apakah mereka membutuhkan job description dan karir yang jelas? Terus terang, saya harus mendalami kasusnya agar bisa memberikan saran yang tepat, agar sesuai konteks. Namun untuk sementara, perusahaan tersebut bisa menggunakan konsep dual system yang diperkenalkan oleh John Kotter, dalam bukunya XLR8 (Accelerate):
Courtesy: http://www.bigspeak.com
Dalam buku ini, dijelaskan bahwa untuk mempercepat perubahan dalam organisasi, dual system dapat digunakan. System yang struktural digunakan untuk business as usual, sementara system yang network digunakan untuk menjalankan fungsi growth. Nah, untuk fungsi pabrik dan supply chain, bisa menggunakan system struktural dengan culture yang control, sementara untuk team inovasi yang mencari peluang bisnis, menggunakan system network dengan culture create dan collaborate. Sekali lagi, ini perlu kekompakan values dari para BOD (owner). Jika masih ada perbedaan values, perlu dibicarakan, dipahami dan disadari bersama, sehingga diperoleh kesepakatan, warna apa yang akan dibuat dalam organisasi tersebut. Sehingga, masalah culture-values fit dapat diminimalisir.
Bacaan bergizi lainnya yang bisa dibaca:
- Mari kita pahami apa itu Organization Development:
- Dengan konteks hypercompetition, masih relevankah business model?
Tinggalkan Balasan