Awas wabah penyakit ED melanda para boss!

Perhatikan gejala-gejala sebagai berikut: Apakah hubungan antar karyawan tidak harmonis? Apakah para karyawan terlihat lesu dan loyo? Semangat kerja letoy. Nggak semangat. Bahkan jika diperhatikan, ada kantor yang karyawannya “cepat keluar”. Baru masuk sebentar, udah keluar lagi. Jika iya, berarti bos kantor kita diindikasikan terkena wabah penyakit ED, atau kita sebut ED boss. Lho… yang lesu, loyo, letoy dan “cepat keluar” karyawan, kok yang kena penyakit ED malah boss?

Eits… jangan mikir yang nggak-nggak dulu. Maksud dari penyakit ED di sini bukan Erectile Disfunction yang bikin loyo tak berdaya, atau bukan juga (maaf) ejakulasi dini, yang bikin “cepat keluar”. Maksud penyakit ED yang melanda para boss adalah ENGAGEMENT DESTROYER. Dengan penyakit ED yang diderita para boss ini impactnya besar bagi karyawan. Kerja asal-asalan, yang penting kerjaan selesai seadanya. Deliver KPI only, males berbuat lebih. Kalo ada tantangan untuk berbuat lebih, jawabannya: “that’s not in my KPI“, atau: “bukan kerjaan gua”. Suasana kerja nggak enak.

pengen pulang.pngAtau seperti yang disebutkan di atas, ada juga karyawan yang “cepat keluar”. Maksudnya karyawan pengennya cepet pulang, atau ada juga yang pengen bener-bener keluar dari perusahaan (resign). Bahkan ekstrimnya saya pernah menemukan ada karyawan probation yang tidak bersedia untuk meneruskan probation-nya karena memang tidak cocok dengan atasannya. Akibat ED boss ini, turnover bisa meningkat.

say-stay-striveKaryawan yang Engaged, bisa dilihat dari indikasi sederhana: Say, Strive, Stay. Coba perhatikan karyawan di sebuah perusahaan, bagaimana mereka bersikap terhadap perusahaan. Apakah mereka berkata (Say) yang baik? Ini bisa dilihat dari pembicaraan sehari-hari. Atau bahkan di jaman now ini, kita bisa lihat social media para karyawannya, apakah mereka mempromosikan perusahaannya atau tidak? Coba perhatikan, apakah mereka membela mati-matian perusahaannya ketika dibully? Apakah mereka mempromosikan produk-produk perusahaannya? Apakah mereka jika ada yang mencari pekerjaan, mempromosikan kantornya sebagai tempat kerja yang ideal? Jika iya, itu salah satu indikasi bagus bahwa karyawan kantor tersebut engaged. Tapi kalau  karyawannya nge-grundel, ngomongin yang buruk tentang perusahaan, sudah jelas ada masalah engagement di perusahaan tersebut.

Indikasi kedua, bagaimana tingkat strive for excellence karyawan di perusahaan tersebut? Apakah mereka bersedia doing extra miles? Apakah mereka mau kerja beyond KPI? Atau mereka kerja asal jadi yang penting selesai? Karyawan yang engaged adalah karyawan yang strive, bersedia melakukan lebih bagi perusahaan.

Kemudian lihat indikasi berikutnya: apakah orang ingin stay di perusahaan selama mungkin? Atau dia nggak sabar untuk keluar? Perlu dicatat bahwa turnover sebenernya bukan indikasi utama karyawan tersebut engaged atau tidak. Bisa jadi karyawan tersebut stay, tapi karena tidak laku di luar. Yang ada malah menggerogoti dari dalam. Putus asa, pengen keluar, tapi tidak mampu. Terkandang turn over juga harus diciptakan, untuk menjaga kesehatan organisasi. Kita tentu saja tidak ingin mempertahankan karyawan yang performancenya rendah kan? Karyawan tersebut cenderung menjadi liabilities alih-alih asset. Jadi, jangan hanya jadikan turnover sebagai indikator engagement. Lihat bagaimana perilaku para karyawan yang stay. Apakah mereka memenuhi dua indikasi di awal? Jika iya, berarti kita memiliki engagement yang penuh. Tentu saja kita menginginkan karyawan yang say dan strive, stay as long as it could be. Masalahnya ini sangat sulit dilakukan, karena peluang karir di internal bisa jadi terbatas, jangan lupakan godaan di luar. Orang-orang bagus ini (yang say dan strive) tentu saja cenderung jadi incaran para head hunter. Jadi, indikasi stay bisa jadi adalah indikasi terakhir yang jadi ukuran. Kita berharap, walaupun para talent tersebut terpaksa berpisah dengan perusahaan kita, mereka tetap cerita (Say) yang bagus tentang perusahaan kita.

Berlawanan dengan para bos yang terkena ED, banyak juga para atasan yang immune terhadap ED, atau kita bisa sebut EB leader (Engagement Builder). Coba lihat ciri-cirinya selain karyawan mereka Say, Strive dan Stay: Ketika atasan tersebut keluar dari organisasi, bagaimana sikap para karyawannya? EB leader sangat dicintai timnya. Mereka sangat berat melepas atasannya untuk pindah ke organisasi lain. Perpisahaan dilakukan dengan terpaksa dan berat hati. Ekstrimnya, para bawahan tersebut bisa SUMO (susah move on) setelah ditinggal leadernya. Setelahnya mereka bisa keluar juga dari organisasi, karena alasan mereka stay simply karena EB leadernya.

Lalu, bagaimana kita bisa menjadi Engagement Builder Leader? Untuk menjadi EB leader, kita perlu menciptakan suasana kerja yang positif, yaitu dengan:

  1. Focus on what is right
  2. Make best friends
  3. Reverse the golden rule.

 

Focus on what is right

EB Leader akan mendahulukan apresiasi ketimbang kritik. Untuk bisa mengapresiasi, kita harus bisa melihat strength dan kelebihan setiap orang. My guru recently said: there’s no such thing as a bad person, even talent is over rated. Setiap orang memiliki kekuatannya sendiri. Seseorang bisa jadi talent karena kekuatannya memang persis pas dengan pekerjaannya. Kalau memang ada orang yang tidak bisa menjadi talent, sudah jelas yang salah adalah atasannya. Saya pernah melihat secara langsung ada orang yang terkesan (maaf) “dibuang” di tempat kerjanya yang sebelummya. Tapi setelah pindah, malah orang tersebut lebih perform dan banyak melakukan improvement. Setelah saya lihat lebih detail, ternyata atasannya melihat potensi orang tersebut dan memberikan tugas yang sesuai dengan potensinya. Saya perhatikan, orang yang sebelumnya seperti terhina, justru pencapaiannya diapresiasi oleh atasannya di depan umum. Coba bayangkan bagaimana rasanya jika itu yang dialami oleh kita, yang sebelumnya terpuruk, tetiba diapresiasi di depan umum. Bagaimana engagement kita terhadap atasan tersebut?

Kunci di sini adalah mendengar (listen) dan apresiasi. Orang akan merasa diapresiasi jika aspirasinya didengar. Alasan orang disengaged adalah karena merasa tidak diapresasi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Gallup, Fokus pada strength (apresiasi) hanya menciptakan 1% disengagement. Sementara fokus pada weakness (banyak kritik) menyebabkan 22% disengagement. Dan terakhir ini yang paling nggak enak, ketidakpedulian (ignorance) akan menciptakan 40% disengagement. Perlu dicatat, apresiasi yang berlebihan tanpa diimbangi dengan kritik juga tidak baik. Kritik yang membangun tetap harus diberikan, tapi selalu dimulai dari apresiasi terlebih dahulu.

Dilbert Engagement

Saya pernah juga melihat organisasi yang sangat kontras. Di satu sisi para top talentnya sangat engaged, tapi di sisi lain ada fungsi yang passive disengaged. Kenapa ini bisa terjadi? Sederhana, fungsi itu dicuekin dan seperti dianggap tidak ada. Atasannya bahkan tidak pernah berkomunikasi dengan para bawahan di fungsi itu. Bahkan pernah tercetus statement yang menyakitkan hati dari atasannya: “fungsi ini kan hanya tusuk gigi”. Itulah contoh nyata ED boss. Don’t ever do this at the office!

 

Make Best Friends

Berbeda dengan hasil penelitian yang menyatakan alasan nomor satu orang keluar dari organisasi adalah karena faktor atasan, coba tebak alasan nomor satu orang sulit keluar dari organisasi. Apakah karena atasan? Bukan. Peluang karir? Bukan. Gaji yang tinggi? Jelas bukan. Jawabannya: best friend. Yup, bukan atasan. Dengan adanya best friend di kantor, kita akan merasa berat untuk meninggalkan perusahaan. Kenapa? Karena ikatan emosional tersebut belum tentu kita dapatkan di tempat baru. Pasti ada rasa takut, karena ikatan emosional itu yang bikin kita kuat di tempat kerja. Kebayang kalo kita nggak punya teman di kantor, rasanya berat lho!

help and escapeEB leader bukan sekedar memposisikan diri sebagai atasan di kantor. Mereka cenderung bermazhab servant leadership, bahwa leader bukanlah bos yang kerjaannya hanya memerintah bawahan. Mereka berdiskusi secara equal dan memiliki intellectual humility (thanks once again my guru). Mereka menunjukkan vulnerability di depan timnya. Mereka tidak takut kehilangan wibawa dengan menunjukkan kekurangannya. Paradoksnya adalah ternyata being genuine justru menjadikan kita leader yang inspiratif. Menjadi bos yang arogan justru bukan menuai penghormatan, malah mendapatkan cibiran dan hinaan (di belakang tentunya). Lebih dalam lagi, dengan being genuine EB leader malah makes best frends dengan timnya. Berdasarkan observasi, ini tidak mengurangi respect tim dengan EB leadernya, malah lebih meningkatkan respect, terlebih justru menciptakan engagement yang sustainable, bahkan setelah mereka tidak di organisasi yang sama.

 

Reverse the golden rule

golden ruleAda pepatah: “perlakukan orang lain seperti kamu ingin diperlakukan”. Untuk konteks engagement, kita perlu balik aturannya: “perlakukan orang lain, seperti DIA ingin diperlakukan”. Kata “Dia” sengaja di bold dan di underline, karena sentralnya adalah “Dia”. Untuk bisa melakukannya dengan efektif, kita harus paham betul karakteristik setiap orang yang kita hadapi. Setiap orang terntu saja memiliki preferensi yang berbeda-beda. Jangan sampai disengagement terjadi akibat kita salah treatment, karena berpikir orang lain sama dengan kita. Ada satu cerita seseorang diapresiasi di depan umum dan diminta untuk speech, yang ada orang itu malah marah diperlakukan begitu. Usut punya usut, ternyata orang tersebut tidak nyaman di depan orang banyak. Dia malah merasa seperti dipermalukan di depan umum karena ketika speech dia nggak bisa ngomong dengan lancar. Akhirnya setelah diselidiki dia adalah seorang family man, di moment apresiasi berikutnya, dia tetap diapresiasi di depan umum dan di depan keluarganya yang diundang di acara tersebut. Moment tersebut akhirnya meningkatkan engagement orang tersebut.

 

Finale

Untuk meningkatkan engagement di perusahaan, sudah jelas keberadaan EB leader menjadi krusial. Yang berbahaya adalah jika keberadaan EB leader yang terbatas di perusahaan. Ketika EB leader tersebut keluar, itu justru menyebabkan rombongan orang yang setia dengan EB leader tersebut menjadi disengaged. Untuk itu, tugas kita adalah mengentikan dengan segera penularan wabah penyakit ED di antara para Bos. Kita harus secara sistematis menciptakan sebanyak mungkin EB leader di dalam perusahaan. Dengan demikian, jika ada EB leader yang keluar, akan tergantikan oleh EB leader lainnya. Upaya penghentian wabah penyakit ED bos ini membutuhkan upaya yang Terstruktur, Sistematis dan Masal. Dan ini membutuhkan komitmen semua orang di dalam organisasi. Jangan sampai hubungan kita di perusahaan menjadi tidak harmonis akibat penyakit ED tersebut.

Employee engagement

 

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

Blog di WordPress.com.

Atas ↑

%d blogger menyukai ini: