
Istilah efektif dan efisien sering digunakan banyak orang untuk menggambarkan sukses tidaknya sebuah sistem atau proses berjalan. Ada seorang berpendapat bahwa kalau sudah efisien sudah pasti efektif, sementara kalau sudah efektif, belum tentu efisien. Kebingungan saya tentang bedanya efektif dan efisien diperparah dengan pengertian produktivitas. Saya sudah googling pengertian efektif, efisien, dan produktif, dan terus terang masih belum puas dengan penjelasannya.
Ada yang bilang produktif adalah perbandingan antara output dibagi dengan inputnya. Ada yang bilang juga kalau efisien adalah output dibagi dengan input. Lho kok sama? Apakah produktif = efisien? Hmm… ada beberapa pengukuran efisiensi yang juga menggunakan satuan output dibagi dengan input. Lalu bagaimana dengan efektif? Apa ukurannya?
Setelah merenung di jalan selama ratusan jam dan ratusan kilometer, akhirnya saya memiliki pemahaman yang agak berbeda dengan definisi. Semoga ini cocok, silahkan diskusi di comment blog ini atau di linked in saya juga ok. Untuk ilustrasinya mari kita bahas dengan keseharian kita:
Case 1
Anggap kita diminta untuk pergi ke Bandung. Saat ini adalah jam 8.00 hari Sabtu. Targetnya hanya sampai Bandung. Setelah menempuh perjalanan hampir 4 jam, akhirnya sampai juga ke Bandung, dengan jarak tempuh 150km. Multi Information Display (MID) mobil kita menunjukkan konsumsi bahan bakar adalah 10km/liter. Ukuran konsumsi bahan bakar km/liter (kpl) sering digunakan sebagai ukuran efisiensi bahan bakar. Pertanyaannya: apakah 10kpl itu efisien atau tidak? Nah! Ini dia permasalahannya. Tanpa ada perbandingan atau standard atau benchmark, kita tidak bisa menentukan apakah 10kpl tersebut efisien atau tidak. Untuk itu kita harus menentukan, berapa target konsumsi bahan bakar kita. Biasanya, untuk luar kota, penggunaan bahan bakar biasanya adalah 12kpl. Dengan standard tersebut, maka perjalanan tersebut kurang efisien, karena jika kita buat rumusnya, efisiensinya adalah 10kpl/12kpl = 83%.
Lalu, apakah perjalanan tersebut efektif? Sudah jelas, karena targetnya adalah sampai Bandung, dan kita sampai bandung, berarti perjalanan tersebut efektif. Tidak efektif jika ternyata mobil kita mogok hingga bukan sampai bandung, tapi hanya sampai..let’s say… cimahi.
Lalu, apakah perjalanan tersebut produktif? Nah, ini juga agak sulit ditentukan, karena kita tidak memiliki standard produktivitas. Jika menggunakan standard efisiensi di atas, maka standardnya seharusnya adalah produktif jika sampai Bandung dengan penggunaan BBM 12kpl. Jika aktualnya adalah sampai Bandung dengan penggunaan BBM 10kpl, maka bisa kita katakan proses tersebut “kurang” produktif, karena perjalanan ini efektif, namun kurang efisien. Frankly speaking, istilah kurang produktif ini agak mengganjal buat saya. Tapi oke lah, mari kita lihat case ke dua.
Case 2
Seminggu sesudahnya, kita diminta ke Bandung lagi. Kali ini kita diminta untuk sampai Bandung jam 10 pagi. Nah, berbekal pengalaman perjalanan sebelumnya, akhirnya kita berangkat jam 6 pagi. Alhamdulillah perjalanan cukup lancar, karena akhirnya kita bisa sampai di Bandung jam 9.30 pagi, lebih cepat dari targetnya 4 jam. MID pun terlihat 12 kpl. Sesuai target.
Nah, apakah perjalanan tersebut efektif? Kita lihat di sini, targetnya bukan hanya satu, melainkan dua, yaitu (1) sampai Bandung (2) jam 10 pagi. Actualnya, sampai Bandung jam 9.30 pagi. Jika kita buat ukuran efektivitasnya, maka kita bisa nilai efektivitasnya adalah 4jam/3,5 jam = 114%.
Apakah perjalanan tersebut efisien? Dengan target yang sama, yaitu 12kpl, dan aktualnya adalah 13kpl, maka efisiensinya adalah 13/12 = 108,3%
Lalu, bagaimana dengan produktivitasnya? Sudah jelas, karena perjalanan tersebut lebih efektif dan efisien dibanding perjalanan pertama, pasti perjalanan tersebut lebih produktif. Pertanyaannya, berapa produktivitasnya? Nah, ini nggak mudah. Tapi jika kita menganggap bahwa produktivitas adalah efektif dan efisien, maka rumus produktivitas = efektivitas x efisiensi (lihat tulisan saya lebih detail tentang produktivitas di sini). Dengan hasil ukur di atas, maka produktivitas perjalanan tersebut jika dibandingkan dengan standard adalah 114% x 108,3% = 123,5%. Bagaimana jika dibandingkan dengan perjalanan sebelumnya? Dengan ukuran yang sama, produktivitas perjalanan sebelumnya adalah 100% x (10/12) = 83%. Dengan demikian, kenaikan produktivitasnya adalah 123,5% – 83% = 40,5%.
Mari kita kembali ke kantor… bagaimanakah fokus perusahaan kita? Apakah fokus ke efektivitas kah? Atau fokus ke efisiensi? Memang semua bicara produktivitas, tapi lebih berat ke mana kah?
Kalau melihat perilakunya, sepertinya kebanyakan berfokus ke efisiensi. Coba deh lihat program-program kerjanya, banyak yang mencantumkan Cost cutting, CRP (Cost reduction program), Cost effectiveness program (walaupun namanya effectiveness, tetep aja pemotongan cost yang dilakukan), dan berbagai jargon lainnya. Contohnya? Ya pemotongan cost secara membabi buta. Budget training di potong. Sedot tinja yang biasanya 1 bulan sekali, sekarang 2 bulan sekali. Temperatur AC yang biasanya 18C, diubah jadi 28C. Tapi….. jalan-jalan ke luar negeri untuk insentif tetep jalan. Perjalanan dinas tetap pake airlines ternama di business class. Efeknya? Karyawan meradang. Ada yang sampe bawa kipas angin ke kantor. Untuk beberapa talent mereka akhirnya memilih untuk bergabung dengan organisasi lain. Sayangnya, yang tersisa sebagian besar adalah para pengeluh yang tidak bisa berbuat apa-apa.
Yah… memang inilah yang terpaksa dilakukan oleh management, karena mungkin trauma dengan krisis ekonomi yang mendera di tahun 1998. Tapi ini juga ada efek untuk anak-anak yang di-recruit di kondisi di mana yang mereka kenal adalah efisiensi alih-alih efektivitas. Kita dilakukan simulasi bisnis, mereka akhirnya lebih berfokus ke cost ketimbang efektivitas. Efeknya? Costnya sih kecil, tapi efeknya juga kecil, jadinya ujung-ujungnya buang-buang resource juga, karena nggak menghasilkan apa-apa. Untuk memudahkan pemahamannya, coba kita lihat analogi berikutnya:
Case 3:
Saat ini kita juga ditarget untuk ke Bandung untuk sampe ke sana jam 10 pagi. Masalahnya sekarang tangki bensin nyaris kosong (indikator sudah nyala). Kita hanya punya uang saku 150 ribu. Jika perjalanan ke Bandung sepanjang 180 km bisa menghabiskan 18 liter, maka jika harga pertalite sekarang adalah Rp 7800, maka kita membutuhkan biaya Rp 140.400 untuk bensin. Yah… beli lah di angka Rp 150.000 untuk 19,2 Liter bensin. Kita nggak punya uang lagi untuk beli oleh-oleh…. bahkan untuk bayar toilet di rest area! Untung sekarang gratis ya.
Berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah, seharusnya aman lah dengan bensin sebanyak itu. Kan perjalanan terakhir bisa 12kpl, atau hanya menghabiskan 15 liter sepanjang perjalanan 180 km.
Sialnya, terjadi kemacetan panjang di cikarang… hingga berjam-jam. Efeknya bensin terus turun, tapi mobil majunya hanya semeter dua meter saja. Jam 9 masih di cikarang. Udah pasti nggak akan sampe Bandung jam 10. Lepas kemacetan akibat truk patah as, akhirnya mulai pedal to the metal, geber abis. Tapi nyadar, sisa bensin sudah mulai tiris, akhirnya kaki kanan mulai economical driving. Demi mencapai Bandung dengan selamat, akhirnya AC pun dimatikan, kenyamanan berkurang, terpaksa buka jendela, berusaha mengandalkan AC alami untuk mengatasi teriknya matahari. Sialnya, di gerbang tol Pasteur, di tengah terik matahari, terjadi kemacetan panjang. Ketegangan terjadi karena lampu indikator bensin sudah menyala. Alhamdulillah, sampe Bandung dengan selamat, dengan indikator bensin sudah menyala, jam 1 siang! Efektif? Tentu saja tidak! Karena targetnya kan jam 10, sampenya jam 1 siang. Efisien? Not really, sepertinya ngepas ya… Ternyata MID menunjukkan 9,8kpl. Ternyata tidak efisien juga perjalanan ini.
Kondisi ini mungkin juga terjadi di dalam perusahaan. Ketika kondisi krisis, banyak head winds secara macro, diperlengkap oleh kenaikan UMP yang menyebabkan kita harus tarik ulur dengan serikat ketika menentukan kenaikan entry salary. Dengan berbagai kesulitan yang dihadapi perusahaan, ketidak efektif-an serta ketidak efisienan terjadi. Demi mempertahankan kelangsungan perusahan, terpaksa kenyamanan harus dikorbankan. Agar karyawan buy in dengan program survival yang dijalankan oleh perusahaan, leadership sangat diperlukan. Karyawan pasti akan mengerti kondisi perusahaan apabila ada komunikasi yang tulus antara manajemen dengan karyawan. DItambah lagi, jika role modeling juga ditunjukkan dari atas, ketika efisiensi terjadi, manajemen juga menunjukkan perilaku yang efisien juga. Ibarat perjalanan di kasus ketiga tadi, supir serta penunpang senang sama senang, susah sama susah, berpeluh mengarungi perjalanan tanpa AC, demi tercapainya tujuan dengan selamat.
Bagaimana meningkatkan produktivitas?
Cara meningkatkan produktivitas bisa dilakukan dengan tiga cara:

1. Meningkatkan efektivitas, yaitu memperbaiki outputnya sesuai dengan harapan, dengan mempertahankan tingkat input yang digunakan.
2. Meningkatkan efisiensi, yaitu memastikan input yang digunakan sesuai dengan desain, dengan meminimalisir waste atau kebocoran sumber daya yang tidak digunakan dengan semestinya untuk menghasilkan output yang diharapkan.
3. Meningkatkan efektivitas dan efisensi system tersebut secara bersamaan, yaitu meningkatkan output dengan input yang lebih sedikit.
Tinggalkan Balasan