
Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan saya tentang strategi menghadapi situasi COVID-19 sebelumnya. Jika dalam tulisan sebelumnya saya membahas bagaimana strategi korporasi menyikapi COVID-19, dalam tulisan ini kita akan beforkus kepada strategi bisnis.
Konsep
Apa itu strategi bisnis? Menurut David Aaker, business strategy merupakan keputusan strategis yang meliputi:
- Product-market investment strategy – pada segmen mana kita berkompetisi, dan produk apa kita tawarkan bagi segmen tersebut.
- Apa customer value proposition yang ditawarkan kepada segmen yang dipilih.
- Keputusan investasi pada Asset dan kompetensi untuk memenuhi value proposition tersebut
- Strategi/program fungsional

Berbeda dengan corporate strategy yang dibahas pada tulisan saya yang lalu, yang berfokus pada keputusan di industri mana kita akan mengivestasikan aset kita, dalam business strategy, industry tempat kita “bermain” sudah given. Selanjutnya kita memutuskan ke empat hal di atas. Untuk mementukan segmen dan produk, kita dapat menggunakan ansoff diagram di bawah ini:

Setelah kita menentukan market dan productnya, kita harus memutuskan investasi yang akan kita tanamkan dalam bentuk aset atau kompetensi (people atau teknologi), baru kita tentukan functional strategy-nya.
Strategi Bisnis dengan konteks COVID-19
Dalam konteks pandemi COVID-19, yang mana kita semua yang hidup saat ini belum pernah sama sekali mengalami kondisi yang sama, ada tiga kondisi yang dihadapi industri:

Untuk perusahaan yang berada pada industri yang menjadi potential winner, yang dilakukan adalah bagaimana dapat segera meng-capture demand yang relatif tinggi. Industry yang memenuhi basic needs bagai mendapatkan durian runtuh dalam kondisi ini. Bahkan ada beberapa perusahaan textil yang akhirnya banting stir menjadi perusahaan medical supply, yah minimal memproduksi masker. Apakah semua yang ada di Industri ini dapat menikmati? Belum tentu, tergantung apakah mereka memiliki kemampuan untuk re-skill atau up-skill secara cepat atau tidak.
Kondisi yang berikutnya adalah yang menjadi potential loser/winner. Untuk yang posisinya masih bisa sideways, kondisi yang mereka ambil adalah bertahan hidup. Ini adalah kondisi yang dihadapi sebagian besar perusahaan, karena demand pada kondisi COVID-19 saat PSBB bulan April – Mei sangat jatuh.
Kondisi yang terakhir adalah para loser, yang industrinya benar-benar hilang demand akibat kondisi Pandemic. Yang terpaksa dilakukan adalah retrenchment, bahkan divestasi. Namun untuk perusahaan-perusahaan bermodal besar yang memiliki nafas panjang yang dilakukan adalah konsolidasi dan bertahan.

Karena sebagian besar industri adalah loser atau winner/loser, maka strategi yang dilakukan adalah:
- Bertahan hidup hingga kondisi rebound
- Bersiap mengantisipasi kondisi new normal.
Strategi Bertahan
Jika industri kita menjadi korban dari pandemi, maka yang perlu dilihat adalah apakah ada peluang untuk mengalihkan aset kita untuk dapat men-tap market demand yang sedang turun? Pertama, mari kita lihat, apakah ada segmen lain di dalam industri kita yang masih terdapat demand? Apakah produk yang kita miliki bisa memenuhi demand tesebut? Jika iya, maka strateginya adalah market development. Proses ini harus dilakukan secara cepat, karena pasti kompetitor kita memikirkan hal yang sama dengan kita. Kalau produk yang kita miliki belum dapat memenuhi demand segmen baru tersebut, maka yang dilakukan adalah dengan melakukan diversifikasi. Ini yang dilakukan oleh industri tekstil yang mengalami penurunan demand pakaian, tapi akhirnya asetnya dialihkan ke produksi masker. Ini hanya bisa dilakukan apabila kompetensi dan aset yang dimilikinya memang dapat dialihkan ke segmen baru tersebut. Minimum adjustment memang dilakukan, tapi tidak sulit, seperti masuk ke industri yang totally new. Hal ini juga dilakukan oleh Air Asia yang sebelumnya berfokus pada penumpang, sempat memanfaatkan aset yang ada untuk menjadi pesawat cargo.
Kunci dalam bertahan adalah bagaimana aset yang ada tetap produktif, karena perusahaan tetap harus membayar fixed cost. Jika hal ini sulit dilakukan, hal yang diambil adalah menjaga cash yang ada dengan melakukan cost efficiency. Strategi ini adalah strategi yang sangat wajar, dan manajemen harus berhati-hati dalam melakukannya, karena jika dilakukan secara berlebiham, perusahaan dapat memotong biaya yang dibutuhkan perusahaan untuk bertahan secara jangka panjang.
Perubahan business model
Dalam kondisi ini, perubahan perilaku konsumen ketika menuju new normal memaksa perusahaan untuk mengubah business modelnya. Dengan kondisi social distancing, perusahaan “terpaksa” mengakselerasi transformasi digital yang selama ini sudah terfikirkan atau mulai dijalankan. Pertama, karena mobilitas manusia terbatas, dan penjualan secara face to face todak dimungkijkan, maka digital channel yang dianggap menjadi masa depan channel menjadi segera direalisasikan. Restauran selama pandemi sangat mengandalkan ojek online untuk mempertahankan bisnisnya. Beberapa bisnis mengalihkan channel konvensional menjadi digital. Termasuk di dalamnya bisnis asuransi jiwa yang secara regulasi penjualan unit link harus dilakukan secara face to face, sekarang sudah bisa dilakukan secara video conference. Penjualan asuransi jiwa tradisional secara digital juga meningkat selama PSBB berlangsung. Untuk menyikapi hal tersebut, perusahaan harus segera mengadjust proses, sistem, termasuk di dalamnya kompetensi karyawannya, menjadi lebih digital.

The future of work is happening NOW
Seiring dengan perubahan business model, the future of work menjadi terakselerasi sehingga terjadi bukan 5 tahun atau 10 tahun lagi, bahkan sudah terjadi. . Pertama, banyak pekerjaan lenyap dalam sekejap karena sudah tidak relevannya industri tersebut atau terjadi perubahan model bisnis. Hal ini memaksa karyawan harus mengalami re-skill kompetensi baru ketika perusahaan harus shifting produk atau layanan baru, bahkan up-skill agar mengadopsi cara kerja digital. Kedua, cara kerja karena social distancing juga berubah. Adopsi cara kerja digital menyebabkan Kompetensi video conferencing yang sebelumnya belum menjadi menu pengembangan, sekarang menjadi salah satu basic competence seperti layaknya microsoft office. Ketiga, kehadiran fisik menjadi kurang relevan, karena gaya kerja digital yang memungkinkam orang bekerja dari rumah atau bahkan dari mana saja (Work From Anywhere). Saat ini lingkungan kerja ROWE (Result Only Working Environment) menjadi semakin relevan, di mana jam kerja dan kehadiran fisik semakin tidak relevan. Delivery pekerjaan yang sangat oenting saat ini.

Dengan perubahan tersebut, value proposition tidak hanya berubah dari sisi customer. Digitalisasi juga mengubah Emploee Value Proposition, apakah perusahaan adalah perusahaan mampu beradaptasi dengan gaya kerja digital, atau masih terperangkap pada gaya kerja kolonial yang masih mengedepankan kehadiran fisik. Di jaman digital seperti ini, para milenial dapat menilai perusahaam mana yang adaptif dengan keadaan, mana yang tidak.
Kuncinya: resilience
Pandemi yang kita hadapi sekarang, memang merupakan jamu pahit yang harus kita telan bersama. Tapi di balik itu semua, menyimpan harta karun yang berharga. Perusahaan yang bertahan di kondisi krisis seperti ini, atau bahkan dapat mengambil peluang untuk memperkuat competitive advantagenya adalah perusahaan yang tahan banting atau resilient. Apa indikator sebuah perusahaan itu resilient? Menurut pendapat saya sederhana: bagaimana kinerja perusahaan jika dibandingkan dengan industrinya. Ketika turun, perlu berapa lama dapat melakukan rebound dan kembali pada posisi sebelum krisis. Jika perusahaan tersebut memiliki performance yang relatif lebih baik dari industry, sudah jelas perusahaan itu memiliki resilience. Jika terjadi penurunan, kita lihat seberapa cepat perusahaan tersebut rebound, relatif terhadap industri. Itu indikasi perusahaan adalah perusahaan yang tahan banting.


Lalu, apa yang harus dimiliki perusahaan agar menjadi perusahaan yang resilient? Pertama, perusahaan harus memiliki sumberdaya cadangan yang mencukupi untuk bertahan jika terjadi krisis. Ini dapat diartikansebagai cash reserve, atau tabungan. Berapa lama? Tergantung dari berapa besar fixed cost yang yang harus dibayar, serta karakter dari industry, seberapa volatile industry tersebut dipengaruhi oleh macro indicators. Sumberdaya sangat diperlukan apabila perusahaan terpaksa harus pindah industry, atau melakukan diversifikasi jika demand dalam industry nya menukik tajam. Selain itu, cadangan sumberdaya ini juga dibutuhkan apabila perusahaan terpaksa harus bertahan ketika perpindahan arah tersebut tidak dapat dilakukan. Kita sadari bahwa tujuan perusahaan dibangun adalah untuk going concern. Kita pastinya berharap bahwa badai akan berlalu dan kita siap back to the game. Tanpa adanya cadangan, perusahaan terpaksa harus out of the game dengan terpaksa menjual aset dan melakukan PHK.
Kedua, perusahaan harus memiliki strategy yang agile, siap berubah arah dan cara untuk mencapai tujuannya. Top management harus memiki scenario planning yang jelas sebagai antisipasi segala kemungkinan. Siap berubah arah ini haruslah antisipatif. Yang paling basic adalah selalu melihat peluang market dengan framework ansoff diagram, atau bahkan pebih ekstrim lagi, bersiap untuk ekspansi atau switch industry. Dan ini sudah jelas tidak dapat dilakukan secara mendadak. Hanya yang hebat yang dapat menantisipasi kondisi, bahkan sebelum krisis menerpa.

Ketiga, agar perusahaan dapat agile sesuai dengan arah strateginya, harus didukung oleh budaya yang agile pula. Ini didukung oleh dua hal, yang pertama perusahaan tersebut diisi oleh orang-orang yang memiliki learning agility yang mumpuni, sehingga mereka siap untuk melakukan re-skill atau bahkan up-skill jika ternyata perusahaan berubah arah. Kedua, perusahaan tersebut juga harus memiliki budaya siap untuk berubah. Adalah sebuah kesia-siaan apabila perusahaan diisi oleh orang-orang yang memiliki learning agility yang tinggi, tapi tidak mau atau sulit berubah. Culture yang agile juga direpresentasikan oleh struktur yang flexible, setiap orang siap berubah peran dan tanggung jawab, ketika terjadi perubahan arah bisnis. Bagaimana cara membangun orang-orang yang agile? Dimulai dari recruitment, apakah perusahaan menghire orang-orang dengan kapasitas dan learning agility yang tinggi atau tidak. Kedua, bagaimana competency model dan learning culture dijalankan. Bagaimana kecepatan perusahaan secara sistematis men-acquire pengetahuan baru secara sistematis. Di sini knowledge management berperan. Ketiga, bagaimana perubahan di manage di perusahan, apakah perubahan di jalankan dengan baik sehingga impact negatif akan perubahan selama ini dapat diminimalisir sehingga tidak menimbulkan trauma bagi karyawan. Dengan demikian, trust level karyawan terhadap perubahan akan tinggi karena selama ini mereka tidak merasa jadi korban perubahan.
Dengan resilience dan agility, maka organisasi akan mampu untuk bertahan, bahkan justru memanfaatkan krisis tersebut menjadi peluang. Dengan kondisi VUCA seperti ini, disruption akan terus terjadi, entah itu dari market, teknologi, regulasi, atau bahkan virus yang tak kasat mata yang ternyata mampu memporak-porandakan segala sendi kehidupan kita. Sekarang pilihan ada di tangan kita, apakah kita siap untuk menjadi pemenang, atau korban?

Tinggalkan Balasan