Model bisnis dijelaskan oleh Afuah (2004, p. 9) sebagai berikut:
The set of which activities a firm performs, how it performs them, and when it performs them as it uses its resources to perform activities, given its industry, to create superior customer value and put itself in a position to appropriate the value.
Sedangkan Osterwalder (2004, p. 15) mendefinisikan bisnis model sebagai:
A conceptual tool that contains a big set of elements and their relationships and allows expressing the business logic of a specific firm. It is a description of the value a company offers to one or several segments of customers and of the architecture of the firm and its network of partners for creating, marketing, and delivering this value and relationship capital, to generate profitable and sustainable revenue streams
Secara sederhana, model bisnis adalah bagaimana perusahaan menjalankan bisnisnya, dimulai dari bagaimana mendapatkan pendapatan, pengaturan biaya, serta bagaimana aktivitas-aktivitas pendukungnya dapat mencapai tujuan perusahaan. Model bisnis tidak hanya sebatas bagaimana caranya mendapatkan penghasilan, melainkan juga bagaimana perusahaan menghasilkan keuntungan/profit (Affuah, 2004, p. 11). Dengan tidak hanya membatasi pada bagaimana caranya perusahaan mendapatkan penghasilan, maka sebuah bisnis model yang baik juga harus mempertimbangkan permasalahan biaya dan aktivitas-aktivitas pendukung bisnis tersebut. Model bisnis juga merupakan penerjemahan strategi ke dalam blue print bagaimana perusahaan mendapatkan profitnya (Osterwalder, 2004). Hubungan model bisnis dan strategi digambarkan dalam diagram sebagai berikut:
Menurut penelitian (Malone, et al., 2006), beberapa model bisnis memiliki performansi finansial yang lebih baik dibandingkan model bisnis lainnya. Dalam penelititan tersebut model bisnis manufacturing dan physical landlord ternyata memiliki cash flow yang lebih baik dibandingkan model bisnis lain yang diteliti.
Komponen dalam model bisnis
Banyak penulis menawarkan berbagai komponen yang membentuk model bisnis. Salah satunya, Stähler (2002) menawarkan konsep model bisnis dengan pendekatan yang berpusat pada jaringan (network centric approach). Dalam frameworknya, Stähler tidak memasukkan model marketing. Menurutnya, model bisnis memiliki komponen-komponen sebagai berikut:
- Value proposition, yaitu nilai apa yang akan ditawarkan perusahaan kepada pelanggan dan partner bisnisnya.
- Produk/service yang ditawarkan oleh perusahaan
- Arsitektur, yaitu bagaimana dan melalui konfigurasi apa nilai diciptakan (value created)
- Revenue Model, yaitu bagaimana perusahaan memperoleh pendapatannya.
Namun framework tersebut dirasa masih kurang lengkap, karena tidak memasukkan unsur cost sebagai komponen model bisnis. Padahal, sebuah bisnis memiliki bottom line berupa profit, bukan revenue saja. Penulis lain, Alt dan Zimmerman (2001) memiliki pendekatan lain dalam menentukan komponen dalam suatu model bisnis. Mereka menjelaskan bahwa komponen-komponen dalam model bisnis adalah sebagai berikut:
- Misi perusahaan, yaitu bahwa model bisnis haruslah dapat mencakup pengertian akan visi dan misi perusahaan, tujuan stratejik, dan value proposition perusahaan. Termasuk di dalamnya produk atau service features.
- Struktur, yang menentukan peran masing-masing agent yang terlibat dalam bisnis, dengan fokus kepada industri, pelanggan, dan produk.
- Proses, yang menggambarkan misi perusahaan dan struktur model bisnis secara lebih detail. Dalam komponen ini ditunjukkan elemen-elemen proses value cration.
- Pendapatan (revenue), yaitu merupakan bottom line dari sebuah model bisnis.
- Isu Legal, karena ini mempengaruhi segala aspek dalam model bisnis dan visi perusahaan.
- Teknologi, karena merupakan enabler dari sebuah bisnis, sehingga perubahan dalam teknologi dapat mempengaruhi desain model bisnis.
Terakhir, Afuah (2004, p. 10) menjelaskan bahwa model bisnis memiliki komponen-komponen yang relatif lebih sederhana namun cukup lengkap. Komponen-komponen model bisnisnya antara lain sebagai berikut:
- Aktivitas, bahwa profitabilitas perusahaan tergantung dari aktivitas apa yang dilakukan oleh perusahaan, bagaimana aktivitas ini dilakukan, serta kapan aktivitas ini dilakukan agar perusahaan memiliki posisi yang lebih baik relatif terhadap pesaing. Di sini aktivitas merupakan ”pusat” dari komponen-komponen lainnya, karena komponen lain harus didukung oleh aktivitas yang seuai (fit).
- Posisi perusahaan, yaitu bagaimana perusahaan memposisikan dirinya relatif terhadap pesaing. Sebagai contoh, Air Asia memposisikan dirinya sebagai low fare airlines dibandingkan dengan airlines lainnya. Posisi di sini agak berbeda dengan konsep positioning dalam marketing, yang hanya pada level produk saja. Posisi di sini maksudnya adalah posisi perusahaan/bisnis unit relatif terhadap perusahaan/bisnis lain. Strategi marketing positioning biasanya merupakan turunan dari posisi perusahaan. Mercedes-benz memposisikan dirinya sebagai produsen mobil mewah berteknologi tinggi. Dengan demikian, semua produknya memiliki positioning sebagai mobil mewah. Agar posisi perusahaan tersebut dapat efektif, aktivitas yang dimiliki oleh perusahaan tersebut harus dapat mendukung posisi perusahaan. Sebagai contoh, Mercedes-benz memiliki aktivitas R&D yang mendukung posisinya sebagai produsen mobil mewah berteknologi tinggi. Bila perusahaan tersebut tidak memiliki R&D yang mendukung posisi perusahaan, maka posisi perusahaan tersebut tidak akan efektif mencapai competitive advantagenya.
- Sumber daya, yaitu bagaimana agar aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan dapat memanfaatkan sumber daya yang dimiliki perusahaan saat ini untuk memperoleh sumber daya yang dapat menciptakan nilai pelanggan (customer value). Contohnya adalah sumber daya yang dimiliki oleh Mercedes-benz (yaitu kemampuan dan fasilitas R&D) dapat membentuk sumber daya lainnya (seperti proses produksi) yang dapat menciptakan nilai yang dinginkan oleh pelanggan, yaitu mobil mewah yang berteknologi dan berkualitas tinggi.
- Faktor Industri, yaitu bahwa aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan dipengaruhi dan atau mempengaruhi tekanan persaingan dalam industri di mana perusahaan tersebut bermain.
- Biaya (cost), bahwa sebuah model bisnis tidak hanya berbicara revenue saja. oleh karena itu, biaya juga menjadi komponen dalam model bisnis. Segala aktivitas perusahaan juga harus mempertimbangkan biaya (tidak perduli apakah perusahan tersebut memiliki strategi cost leadership atau diferensiasi) karena ini berpengaruh pada profitabilitasnya.
Komponen dalam bisnis model yang ditawarkan oleh Afuah (2004) tersebut digambarkan dalam diagram sebagai berikut:
Komponen-komponen dalam model bisnis tersebut di atas menunjukkan bahwa sebuah model bisnis yang baik harus mempertimbangkan faktor-faktor internal dan eksternal. Kembali pada pembahasan hubungan antara model bisnis dan strategi bisnis, di sini terlihat bahwa pembuatan model bisnis sangat terkait dengan strategi yang diformulasikan. Namun, apakah dengan framework yang dibuat oleh para penulis mengenai model bisnis dapat menjawab tuntutan lingkungan bisnis yang hypercompetitive?
Bagaimana model bisnis menjawab tantangan hypercompetition
Model bisnis secara natural bersifat statis dan hanyalah merupakan snapshot dari kondisi saat ini (Osterwalder, 2004, p. 36). Agar model bisnis dapat menghadapi pasar persaingan yang hypercompetitive, maka perusahaan harus memiliki bisnis model yang flexible. Linder dan Cantrell (2000) memiliki 4 model perubahan model bisnis, yaitu: realization model, renewal model, extension model, dan journey model. Realization model berfokus pada perubahan kecil pada model bisnisnya untuk memaksimasi potensi yang dimilikinya. Sedangkan renewal model dicirikan oleh revitaliasi secara konsisten pada produk atau jasa, merek, struktur biaya, serta teknologinya. Dengan demikian, perusahaan akan meningkatkan kemampuan intinya (core skill) untuk menciptakan posisi baru. Model perubahan ini sering kali melibatkan serangan terhadap pasar baru dan format retail yang baru. Extention model memperluas bisnis dengan cara melebarkan model operasinya (operating model) untuk masuk ke pasar baru, fungsi rantai nilai (value chain function), serta lini produk atau service yang baru. Model ini sering dicirikan oleh adanya integrasi vertikal (backward dan forward) maupun horizontal. Sedangkan pada journey model perusahaan benar-benar merubah model bisnisnya secara keseluruhan. Model tersebut digambarkan dalam gambar sebagai berikut:
Model perubahan model tersebut dapat kita kombinasikan dengan komponen bisnis model dari Afuah (2004). Perusahaan dapat maka sebuah model bisnis dapat disesuaikan sesuai dengan konteks hypercompetition. Pada setiap arena hypercompetition, perusahaan tetap dapat menciptakan competitive advantage secara terus menerus dengan menggunakan model perubahan tersebut.
Kesimpulan
Model bisnis yang pada mulanya dianggap sebagai suatu hal yang statis, tetap dapat beradaptasi dengan kondisi lingkungannya. Model yang ditawarkan oleh Linder dan Cantrell (2000) adalah jawabannya. Walaupun perusahaan dihadapkan oleh kondisi yang hypercompetitive, model bisnis tetap harus dimiliki oleh perusahaan. Karena, perusahaan perlu memiliki track agar bisnis yang dijalankan mencapai tujuannya, yaitu profit. Tanpa model bisnis, aktivitas perusahaan akan sulit align dengan sumber daya yang dimilikinya. Sehingga, akan sulit bagi perusahaan mencapai tujuannya tanpa memiliki model bisnis.
Perusahaan yang dengan tepat menjalankan model bisnisnya dapat menjadikannya sebagai competitive advantage yang dimilikinya. Beberapa perusahaan yang memiliki model bisnis yang inovatif seperti FedEx, Dell, Google, ternyata menjadikan model bisnisnya sebagai competitive advantage. Hal ini memperkuat bahwa model bisnis tetap harus dimiliki oleh perusahaan agar tujuan profitabilitasnya tercapai, walaupun konteks bisnis yang dihadapinya adalah konteks hypercompetition.
Bibliography
Affuah, A. (2004). Business Models. New York: McGraw Hill.
Alt, R., & H., Z. (2001). Introduction to Special Section – Business Model. Electronic Markets , pp. 3-9.
Business Model. (n.d.). Retrieved 02 22, 2008, from Wikipedia: http://en.wikipedia.org/wiki/Business_model
D’Aveni, R. (1994). Hypercompetition. New York: Free Press.
Grant, R. M. (1995). Contemporary Strategy Analysis: concepts, Techniques, Application. Cambridge: Basil Blackwell.
Hill, C. W., & Jones, G. R. (1995). Strategic Management Theory: An Integrated Approach. Boston: Houghton Mifflin.
Linder, J., & Cantrell, S. (2000). Changing Business Models: Surveying the Landscape. accenture Institute for Strategic Change.
Malone, T. W., Weill, P., Lai, R. K., D’Urso, V. T., Herman, G., Apel, T. G., et al. (2006). Do Some Business Models Perform Better than Others? MIT Sloan Research Paper .
Osterwalder, A. (2004). The Business Model Ontology a proposition in a Design Science Approach. Thesis .
Porter, M. E. (1985). Competitive Advantage: Creating and Sustaining Superior Performance. New York: The Free Press.
Porter, M. E. (1980). Competitive Strategy. New York: The Free Press.
Staehler, P. (2002). Business Models as an Unit of Analysis for Strategizing. International Workshop on Business Models. Laussane, Switzerland.
Thomas, L. G., & D’Aveni, R. (2004). The Rise of Hypercompetition From 1950 to 2002: Evidence of Increasing Industry Destabilization and Temporary Competitive Advantage.