Manusia adalah makhluk pembelajar. Khusus untuk yang punya growth mindset, pasti berfikir bagaimana dirinya menjadi kebih baik dari sebelumnya. Saya teringat diskusi saya dengan atasan saya kurang kebih 6 tahun yang lalu. Dalam diskusi tersebut dibahas apa beda learning dengan studying. Saya terus terang sulit menggunakan bahasa Indonesia, karena keduanya diartikan belajar. Saya waktu itu befikir studying lebih mendalam ketimbang learning. Karena, ketika mendengar kata studying, saya membayangkan seseorang kutu buku yang tekun menyelami buku di perpustakaan. Sementara learning, yaaa… hanya sekedar belajar begitu saja lah. Ternyata saya salah. Yang benar learning lebih mendalam ketimbang studying. Kenapa? Karena dari learning diharapkan terjadi perubahan perilaku. Berbeda dengan studying yang hanya berujung pada penambahan pengetahuan.

Pemahaman saya tentang arti belajar sejak itu berubah. Dan semakin teryakinkan ketika waktu itu saya menyusun technical competency dictionary, di mana salah satu subject matter expert saya waktu itu menyatakan bahwa perusahaan tidak membayar orang karena hanya sekedar tahu sesuatu, tapi perusahaan membayar seseorang karena mampu melakukan sesuatu. Hehehe… memang saat itu, ketika menyusun kompetensi, karena terbiasa menggunakan taksonomy bloom, di mana level 1 nya adalah memahami konsep techincal competency tersebut. Pernyataan subject matter expert yang juga adalah guru OD saya tersebut mengubah saya dalam memandang kompetensi, khususnya teknikal.
Jika belajar adalah berubah, seharusnya perubahan tersebut mengarah kepada sesuatu yang lebih baik. Nah, oleh karenanya, saya sekarang berfikir, bahwa orang yang belajar adalah orang yang sesungguhnya sedang bertransformasi menjadi lebih baik lagi. Di era VUCA, agility organisasi menjadi kunci yang diisi oleh orang-orang yang agile. Nah, team yang agile menurut saya dicirikan oleh kesiapan anggota tim untuk melakukan re-skill atau bahkan up-skill ketika terjadi perubahan organisasi. Sudah banyak artikel yang menuliskan bahwa dengan perkembangan jaman, terjadi pergeseran jenis pekerjaan yang akan menjadi masa depan manusia. Walaupun saya bukan penganut teori Darwin, tapi sedikit banyak saya setuju dengan konsep survival of the fittest. Hanya yang siap dengan kondisi lingkungan dan terus beradaptasilah yang akan bertahan. Alhamdulillah kita sebagai manusia sudah dibekali modal yang lengkap oleh Tuhan untuk bertahan hidup.
Nah, bagaimana kita belajar dan bertransformasi? Jika kita di organisasi, biasanya orang merasa ter-develop jika mendapatkan training. Selain itu, trend saat ini adalah eranya coaching, sehingga dibuatlah coaching culture. Menurut saya trend tersebut ada benarnya, tapi lebih baik lagi jika kita melihat dari konteksnya. Karena setiap metode pembelajaran atau development memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing, tergantung kita berada di stage mana dalam kompetensi yang akan didevelop tersebut. Ketika kita melakukan perencanaan pengembangan (development planning), biasanya kita memilih bentuk pengembangan sebagai berikut:
- In Class Training
- On the job training
- Job assignment
- Mentoring
- Coaching
- Counseling
Sebetulnya pengembangan apa sih yang cocok untuk semua orang? Apakah coaching yang sedang trend itu adalah metode pengembangan yang terbaik? Setiap metode pengembangan adalah seperti obat, di mana tidak ada satupun obat di dunia ini yang bisa menyembuhkan semua penyakit. Seperti yang saya tuliskan di atas, bahwa ini tergantung konteksnya, yaitu seberapa besar gap individu yang akan dikembangkan dengan standar komoetensinya.
1. Counseling

Metode counseling sering dipadankan dengan coaching. Sering dituliskan c&c yaitu coaching and counseling. Ini menurut saya kurang tepat, karena counseling pada dasarnya adalah metode terapi masalah psikologis yang hanya bisa dilakukan oleh seorang counselor profesional. Metode yang dilakukan adalah dengan membongkar masa lalu client yang menyebabkan masalah yang dihadapi, dan berusaha menyembuhkan masalah tersebut. Nah, karena ini harus dilakukan oleh seorang counselor profesional, yang artinya memang berhak untuk melakukannya, makanya proses ini tidak bisa dilakukan okeh sembarangan orang. Seorang sahabat yang lulusan psikologi berkata bahwa hati-hati dengan penggunaan istilah counseling, apalagi melakukannya kepada tim kita. Jangan sampai kita melakukan poembongkaran masa lalu tim kita, dan ternyata kita tidak mampu untuk memperbaikinya. Jangan sampai kita “terima bongkar, tidak terima pasang”. Memang metode counseling dapat dianalogikan dengan proses “bongkar pasang”. Untuk mesin mobil kita yang bermasalah saja, kita harus serahkan kepada mekanik untuk melakukan bongkar pasang kan? Beranikah kita yang tidak memiliki pengetahuan tentang mesin dan melakukan bongkar, perbaiki, dan pasang mesin kita? Nah, hal yang sama juga terkait counseling. Serahkan pada ahlinya.
Kapan counseling kita butuhkan? Yaitu ketika kita sulit mencapai kinerja yang diharapkan karena ada hambatan psikologis yang cukup berat akibat adanya trauma masa lalu. Beberapa perusahaan menyediakan profesional counselor untuk membantu karyawannya yang memiliki masalah pribadi dan psikologis yang mempengaruhi kinerja mereka.
2. Coaching

Metode coaching dilakukan apabila individu yang akan dikembangkan sudah paham apa goal yang ingin dicapai. Prinsip yang digunakan adalah pemberdayaan individu tersebut dalam mencari hal terbaik yang ada pada dirinya dan kemudian dimanfaatkan untuk bertransformasi diri. Metode ini juga sebaiknya dilakukan oleh seorang profesional, karena metode ini membutuhkan skill khusus yang akan terasah oleh training dan jam terbang. Seorang coach yang membantu individu tersebut bertransformasi harus mampu melontarkan powerfull questions yang menstimulus pemikiran dan kesadaran pribadi. Skill yang dibutuhkan juga adalah deep listening dan mampu melakukan connecting the dots dari pernyataan client dan melontarkan powerful questions untuk menggali lebih dalam. Seorang coach juga harus mindful dan presence di depan individu yang menjadi clientnya. Metode ini bukanlah metode mengajari, karena seorang coach belum tentu seorang ahli di topic pengembangannya. Dibutuhkan intellectual humility untuk tidak terjebak mengajari, dan terus memiliki curiosity dalam melempar pertanyaan. Idealnya, metode ini digunakan kepada orang-orang yang sudah memiliki potensi di level selanjutnya, tapi masih belum dapat mengurai permasalahan yang menghambat tujuannya tersebut. Berbeda dengan counseling yang berorientasi dengan masa lalu, metode ini berorientasi pada masa depan, yaitu goalnya. Prinsip lain yang digunakan adalah fokusnya adalah kepada client, bukan pada masalah yang dihadapi oleh client dalam pencapaian tujuan tersebut.

Agar lebih efektif dan kontekstual, metode coaching juga lebih baik jika dikombinasikan dengan metode job assignment. Dengan job assigment tersebut sebagai topik, serta kejelasan area of developmentnya, maka ini akan memberikan awareness kepada individu yang dikembangkan secara lebih baik lagi.
Metode ini karena membutuhkan skill khusus dan membutuhkan waku lama, biasanya memang digunakan untuk para talent di perusahaan. Namun, dengan prinsip empowering the clients, deep listening, presence and mindful, metode ini juga bisa dilakukan oleh atasan sejak awal untuk mengidentifikasi kebutuhan pengembangan timnya. Dengan memahami tim kita melalui powerful questioning dan deep listening, kita bisa memahami, apa sesungguhnya metode pengembangan yang dibutuhkan tim kita.
Namun, seperti yang saya sampaikan di atas, bahwa metode ini membutuhkan skill khusus yang dibentuk, jika salah praktik, justru yang terjadi adalah “mengajari”, bukannya menggali. Nah, metode mengajari tersebut adalah metode berikut yang kita bahas
3. Mentoring

Metode mentoring adalah metode di mana para mentor sebagai ahli mengajari mentee nya, yaitu individu yang sedang dikembangkan. Nah, dalam melakukan mentoring, idealnya mentee tersebut sudah memiliki pengetahuan akan kompetensi yang sedang dikembangkan, namun perlu belajar lebih detail lagi mengenai konteks penerapannya di lapangan. Di sini bicaranya bukan hanya aplikasi apa yang diketahui, tapi juga beberapa advanced technique atau tips and tricks yang tumbuh dari pengalaman yang didapat oleh sang mentor. Memang biasanya metode ini digunakan untuk pengembangan kompetensi teknis. Seperti pada coaching, metode ini akan lengkap apabila ada job assignment yang menyertainya. Sebaiknya juga sudah dilakukan training untuk melengkapi pengetahuan individu yang dikembangkan. Namun apabila in class training tidak ada sebelumnya, mentoring tetap bisa dilakukan.
Lalu apakah metode ini hanya terbatas untuk kompetensi teknis saja? Bagaimana dengan lewdership? Bisa juga, hanya saja cocok untuk mendapatkan insight dari sang mentor tentang pengalamannya. Bisa jadi konteks permasalahan yang dihadapi oleh mentee itu berbeda jauh dengan mentor, yang mana bisa jadi sang mentor belum pernah menghadapinya. Untuk leadership, saya lebih menyarankan metode coaching, tapi tentu saja sudah didahului dengan dilengkapinya pengetahuan leadership pada individu yang sedang dikembangkan.

4. Job assignment

Biasanya metode ini berupa project yang harus diselesaikan oleh individu yang sedang dikembangkan. Seperti yang saya sebutkan di atas, metode ini akan lebih impactful apabila individu tersebut sudah memiliki pengetahuan akan komoetensi yang sedang dikembangkan melalui job assignment tersebut, ditambah lagi ada mentor atau coach yang mendampinginya dalam penyelesaian project tersebut.
Metode ini akan efektif apabila sejak awal individu yang dikembangkan diberikan awareness bahwa penugasan project ini selain untuk kepentingan organisasi juga untuk pengembangan kompetensinya. Lebih baik lagi jelas kompetensi apa, bahkan key behavior apa atau area mana yang lebih spesifik untuk dikembangkan. Dengan awareness tersebut, individu akan berupaya untuk belajar megubah dirinya sehingga mencapai kompetensi yang diharapkan tersebut. Sekali lagi, metode ini bukan metode untuk kebanyakan orang. Biasanya digunakan untuk orang-orang yang dilihat memiliki potensi di kevel selanjutnya. Project yang ditugaskan akan menstimulus potensi yang dimilikinya menjadi perilaku yang muncul sebagai kompetensi.
5. On the job training

Berbeda dengan job assignment yang merupakan project, metode ini dilakukan dengan mengikuti pekerjaan rutin setelah yang bersangkutan menjalani in class training. Biasanya ini merupakan paket dengan in class training agar individu memahami konteks implementasi pengetahuannya yang diperoleh di kelas. Untuk beberapa level, OJT ini juga dibarengi dengan job assignment sebagai tugas akhirnya. Memang ini biasanya untuk management trainee.
6. In Class Training

Ini adalah metode yang paling sering dipilih dan favorit. Kalo nggak pernah training, rasanya tidak dikembangkan. Metode ini hanya cocok jika memang individu yang akan dikembangkan belum memiliki pengetahuan yang cukup pada kompetensi tersebut. Jadi, memang wajar metode ini adalah yang pertama dipilih sebagai metode pembelajaran. Namun, kita akan terjebak dengan mode studying alih-alih learning apabila in class training tidak ditindaklanjuti oleh metode pembelajaran yang disebutkan di atas, seperti OJT, job assigment, mentoring, atau coaching.
Apa yang terbaik?
Sekali lagi, memang tidak ada metode yang terbaik. Tapi kalau buat saya pribadi, metode coaching adalah metode awal yang bisa digunakan untuk memahami kebutuhan individu. Dengan karakteristik yang di miliki metode coaching, maka adalah hal yang baik apabila coaching digunakan bukan hanya sekedar untuk pengembangan orang tertentu saja. Saya melihat dengan perkembangan saat ini di mana motivasi bukan hanya finansial (walaupun itu adalah yang basic dan hygiene, sehingga tidak bisa kita abaikan), yang mana motivasi untuk berbuat lebih menurut Daniel Pink adalah:
- Autonomy
- Mastery
- Purpose
Maka adalah hal yang lumrah apabila coaching akan menjadi culture. Karena karakteristik coaching cocok dengan drive tersebut di mana:
- Empowering (Pemberdayaan) , bahwa individu menjadi sentral, kendali pengembangan ada di tangan coachee. Tugas coach adalah mengantar coachee menuju kesuksesannya
- Presence, bahwa seorang coach harus hadir dan mindful di depan client/individu yang dikembangkan. Kehadirannya tersebut dilakukan untuk melakukan:
- Deep listening, yaitu mengamati emosi yang terjadi ketika individu mengungkapkan sesuatu. Buat saya seorang coach haruslah baper, tapi bukan bawa perasaan, melainkan BACA PERASAAN. Kita menyadari bahwa manusia adalah makhluk logis sekaligus emosional. Bagaimanapun pasti ada emosi yang menyertai alasan mengapa seseorang berkata dan bertindak sesuatu. Dibutuhkan kecerdasan emosional tingkat tinggi untuk melakukannya.
- Fokus pada goal dan individu, bukan masalah. Dengan deep listening, yang diperoleh bukan hanya goal di permukaan, tapi kita akan mendapatkan atau menimbulkan awareness akan purpose bagi individu yang dikembangkan.
- Transforming, bahwa memang coaching bertujuan mentransformasi individu, sehingga menjadi lebih baik dari saat ini, dan akan terus meningkatkan mastery nya.
Tinggalkan Balasan