Mundur sebagai strategi

Tulisan ini terinspirasi dari salah seorang sahabat yang akhirnya resign untuk meniti karir di tempat lain. Saat dia merdialog dengan CHRO di perusahaan sebelumnya, sang CHRO menyayangkan keputusan sahabat saya tersebut. Menurutnya mundur bukanlah pilihan yang tepat. Memang budaya di perusahaan sahabat saya tersebut cukup “kejam”. Office politics menjadi bahasa sehari-hari: dibunuh atau membunuh. Tidak tahan dengan situasi tersebut, sahabat saya memilih resign. Namun menurut CHRO-nya, pilihan tersebut tidaklah tepat. Dia diharapkan bisa meng-adjust supaya bisa fit dengan culture seperti itu. Namun apakah mundur adalah pilihan yang buruk?

Bung Karno dalam salah satu pidatonya pernah berkata Jas Merah: Jangan sekali-kali melupakan sejarah. Saya sangat sepakat dengan pidato tersebut. Memang sejarah memberikan banyak pelajaran bagi kita agar bisa mengambil sikap yang tepat akan sesuatu. Ini termasuk strategi dalam mencapai tujuan.

Kita harus sadari bahwa kehidupan tidak sepenuhnya terus menanjak. Selalu ada hambatan dan rintangan yang memaksa kita untuk berdiam, melakukan konsolidasi, atau terpaksa mundur sejenak untuk bisa meloncat lebih jauh. Saya akan mengangkat dua cerita yang sangat menentukan dalam perang dunia kedua di eropa.

Dunkirk 1941

battle of france
Peta pertempuran Perancis 1941

Situasi yang berbeda dihadapi pasukan Inggris di Dunkirk tahun 1941. Sebelumnya pasukan Jerman menyerang Prancis secara mengejutkan. Mereka memancing pasukan Perancis yang saat itu adalah pasukan tebesar di Eropa untuk bergerak ke arah Utara. Jenderal Von Manstein menyerang Belanda dan Belgia yang dilakukan oleh Army Group B. Serangan dilakukan secara heboh sehinga Perancis mengira bahwa Army Group B itulah yang merupakan tulang punggung pasukan Nazi Jerman. Dengan demikian, tentara Perancis – Inggris langsung menyerbu pasukan Nazi Jerman tersebut. Makin dalam tentara Prancis-Inggris masuk ke wilayah Belgia, semakian mereka masuk ke dalam perangkap Nazi Jerman, karena sesungguhnya tulang punggung serangan ini bukanlah pasukan Army Group B, melainkan di selatan oleh Army Group A yang terdiri dari kurang tujuh divisi tank.

Secara tidak terduga, menyerbulah ratusan tank ini ke Ardennes di bawah pimpinan Guderian, di belakang tentara Perancis – Inggris yang sedang menyerbu ke Belgia utara. Dengan operasi kilat ini, putus lah perang: sebab tentara Perancis – Inggris menjadi terpotong dua. Padahal situasinya jumlah tank Nazi Jerman hanya 2800, jauh di bawah pasukan Perancis yang memiliki tank tidak kurang dari 4000 unit.

Pimpinan militer Perancis masih menggunakan strategi lama, yaitu menyebar ribuan tank tersebut di sepanjang perbatansan, sedangkan Jerman memusatkan jumlah tank yang lebih sedikit, tapi di satu tempat yang menentukan: Ardennes, yang tidak dipertahankan dengan kuat oleh Perancis. Situasi ini memaksa pimpinan militer Perancis – Inggris untuk mengakui kekalahannya.

Pasukan Nazi Jerman terus merangsek masuk ke dalam Perancis, dan akhirnya pada 23 Mei, pasukan Guderian sudah hanya beberapa mil dari pelabuhan Dunkirk tempat ratusan ribu serdadu Perancis – Inggris. Jika saat itu pasukan Perancis – Inggris berada di bawah komando Hitler, mereka pasti dipaksa untuk melakukan perlawanan sengit melawan musuh. Fight until the last blood. Namun mereka memutuskan untuk mundur ke Inggris. Keputusan dan proses evakuasi ini sangat menentukan posisi sekutu, mereka mundur sejenak, konsolidasi, untuk kemudian menang di kemudian hari.

Stalingrad 1943

Peta strategi pertempuran Stalingrad 1942

Bulan Juli 1942, pasukan Hitler siap memborbadir kota Stalingrad, yang dalam rusia artinya Kota Stalin, pemimpin rusia saat itu. Pasukan Nazi Jerman sudah menjalani peperangan di front timur selama hampir satu setengah tahun. Pada saat itu, kondisi mereka sudah jauh menurun jika dibandingkan dengan keadaan tahun 1941. Saat itu Jerman harus mengerahkan divisi-divisi dari negara seprti Rumania, Hongaria dsb yang mutu dan peralatannya tidak bisa dibandingkan dengan pasukan Jerman.

Kondisi pasukan Jerman tidak dalam posisi yang menguntungkan. Posisi pasukannya sudah masuk ke dalam Rusia, sehingga jalur logistik penghubung dengan Jerman semakin jauh. Kekurangan bahan bakar memaksa Hitler untuk menggunakan unta untuk mengangkut peralatan. Namun Hitler terus memaksa agar Jerman harus bisa menduduki Stalingrad. Untuk itu serangan diserahkan kepada tentara ke-6 di bawah pimpinan Jenderal Friedrich Paulus.

Kota Stalingrad bukanlah kota yang mudah untuk dikuasai. Gedung-gedung tinggi dan pabrik-pabriknya menjadi benteng bagi pasukannya Rusia, sehingga pasukan Jerman harus menguasai gedung demi gedung, blok demi blok. Perang kota ternyata bukan keahlian pasukan Jerman yang mengandalkan panser. Kita bisa melihat mengerikannya perang Stalingrad dalam film Enemy at the gates.

Pertempuran yang sangat berat tersebut menurunkan moril pasukan jerman. Serangan yang dimulai tanggal 15 September mandek pada akhir bulan itu. Walaupun hitler mendantangkan bala bantuan baru, dan pada tanggal 4 Oktober serangan baru dijalankan dibantu dengan banyak tank dan pesawat pengebom. Sepuluh hari lamanya pertempuran sengit tersebut berlangsung, siang malam, kadang-kadang hanya untuk merebut sejengkal bumi, sampai akhirnya pasukan Jerman kehilangan semua tenaganya dalam arti moril maupun fisik.

Sementara di garis di luar kota Stalingrad dibela oleh pasukan satelit Jerman yang kualitasnya di bawah pasukan Jerman. Mereka adalah titik terlemah yang dapat menyebabkan pasukan Jerman dapat terkepung di dalam kota Stalingrad. Jenderal Zeitler, yang waktu itu diangkat sebagai pemimpin tertinggi tentara Jerman di Rusia menyadari risiko tersebut. Dia mengusulkan kepada Hitler supaya tentara ke-6 untuk sementara waktu mengundurkan dari kota Stalingrad, menyusun kekuatannya kembali dan baru menyerang lagi. Tapi bagi Hitler, kata mundur” adalah haram. Dia berkata “di mana tentara Jerman telah menginjakkan kakinya, di sana dia tetap berada”.

Dan prediksi Zeitler pun terbukti. Pasukan Rusia menyerang pasukan rumania di utara barat, dan dari arah lain pasukan Italia dan Hongaria dihabiskan. Tujuannya hanya satu: mengurung pasukan Jerman tentara ke 6 di dalam Stalingrad. Jendral Zeitler menyadari ini segera meminta Hitler untuk dapat mengizinkan pasukan Jenderal Paulus untuk mundur dari Stalingrad agar siap untuk berkonsolidasi dan kemudian memukul balik. Namun Hitler tetap keras kepala dengan pendiriannya.

Setelah melalui banyak pertempuran hebat, akhirnya tanggal 2 Februari 1943, seluruh pasukan Jerman di Stalingrad menyerah kalah. Marsekal Paulus dan para Jendralnya ikut ditawan bersama 91.000 pasukannya. Pihak Rusia mengklaim lebih dari 100.000 pasukan jerman tewas di kota tersebut.

Sebuah harga yang sangat mahal atas sikap keras kepala Hitler yang tidak mau mundur dari Stalingrad demi egonya. Dan harga mahal ini pula lah yang menjadi salah satu faktor mengapa Nazi Jerman kalah di perang dunia ke 2. Hitler tidak belajar dari pasukan sekutu yang tidak malu untuk mundur dari Dunkirk. Sebuah pelajaran mahal akibat gengsi.

Mundur adalah strategi

Kita melihat ada dua kasus yang sangat kontras. Yang satu keukeuh untuk bertempur, dengan semangat juang yang tinggi, tapi akhirnya harus membayar mahal kekalahan pertempuran tersebut menjadi kekalahan telak dalam peperangan. Kembali dengan pembahasan kita di awal tulisan ini, saya semakin yakin bahwa keputusan sahabat saya untuk mundur adalah keputusan yang tepat. Jenderal perang yang hebat adalah jenderal perang yang tahu persis kapan dia harus mundur. Dia tidak akan tergiur oleh “godaan setan” yang bilang bahwa mundur adalah pilihan para pecundang. Pilihan sahabat saya tersebut adalah pilihan untuk mundur di salah satu pertempuran, tapi untuk “memenangkan” peperangan yang akan dia lakukan hingga akhir hayatnya: yaitu memberikan karya yang sesuai dengan values hidupnya. Persis seperti yang terjadi pada saya lebih dari satu tahun yang lalu.

Dalam karir dan kehidupan kita, pastilah kita akan menghadapi situasi sulit untuk memilih jalur, apakah maju terus di dalam pertempuran yang kita tahu tidak akan mungkin kita menangkan, atau memilih mundur, berkonsolidasi, kemudian mencari medan pertempuran lain, atau kembali lagi bertempur di medan pertempuran yang sama dengan kemampuan yang berbeda. Keputusan ini adalah keputusan strategis. Untuk bisa memilih secara tepat, kita harus mengembalikan lagi secara logis, apa tujuan utama yang kita miliki? Jangan sampai ego kita menghijack kita untuk keukeuh dan keras kepala maju terus untuk berusaha memenangkan pertempuran yang kita tahu tidak mungkin kita menangkan. Jangan sampai kata “grit” membuat kita buta. Tidak mau mundur sampai mati bukanlah orang yang memiliki grit, tapi bodoh. Tapi juga jangan sampai kita dengan mudah memilih segera mundur ketika menghadapi masalah, itu juga bukan pilihan yang baik. Untuk itulah, kita perlu belajar bijaksana, yaitu memutuskan sesuatu sesuai dengan porsinya.

Saya jadi teringat permohonan seseorang untuk mendapatkan kebijaksanan kepada Tuhan:

Tuhan, karunialilah saya kekuatan untuk mengubah hal yang saya bisa ubah, kesabaran untuk menerima hal yang tidak bisa saya ubah, dan kebijaksanaan untuk membedakan keduanya.

Satu respons untuk “Mundur sebagai strategi

Add yours

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

Buat situs web atau blog di WordPress.com

Atas ↑

%d blogger menyukai ini: