Kerja Keras vs Kerja Cerdas

Kemarin saya melihat ada tukang sepatu keliling sedang menawarkan barang dagangannya. Kala itu saya sedang keluar parkiran sekolah anak saya. Tukang dagang sepatu tersebut terlihat lelah, sepertinya sudah jalan jauh, di pundaknya terlihat tas yang sepertinya isinya barang dagangannya. Terlihat berat, sepertinya stock-nya masih banyak. Di tangannya terlihat beberapa pasang sepatu yang dia jajakan, tawarkan kepada security di sekolah anak saya. Semua terlihat menggelengkan kepalanya ketika pedagang sepatu tersebut menawarkan dagangannya. Walaupun terlihat lelah, dia terus berjalan dan terus menawarkan kepada siapapun yang dia temui di jalanan. Sayangnya gelengan kepala terus yang saya lihat. Saya langsung berfikir, dia sepertinya sudah bekerja sekeras itu, tapi kenapa dia nggak coba berjualan secara online misalnya. Karena kerja keras seperti ini kayaknya menghasilkan lebih banyak rasa lelah ketimbang penjualan.

Pikiran saya pun melayang beberapa minggu sebelumnya, ketika berdiskusi di ruang meeting. Salah satu peserta meeting mengeluarkan statement: “Saya nggak percaya dengan kerja cerdas. Menurut saya kerja keras lah yang dibutuhkan untuk sukses”. Statement itu muncul karena dia menganggap kerja cerdas itu adalah untuk orang malas yang cenderung mengakali ketika mendapatkan pekerjaan. Saya sendiri masih kurang setuju dengan statement tersebut. Kalau kita bekerja hanya secara keras, ya kita nggak ada bedanya dengan tukang dagang sepatu yang saya ceritakan di atas. Capek, tapi nggak menghasilkan.

Di sisi lain, ada juga orang-orang yang bekerja tidak terlalu menghabiskan tenaga fisik, tapi berfikir lebih keras lagi. Mereka adalah para investment yang berfikir mau menempatkan dananya di mana. Ini lah menurut saya kerja keras. Pertanyaannya, apakah harus dipertentangkan antara kerja keras dan kerja cerdas?

Menurut saya sih tidak ya. Kerja keras itu merupakan ethos kerja. Semangat kerja. Pakai hati. Kalau kerja cerdas itu pakai otak, Untuk sukses, ya perlu dua-duanya lah. Kalau kerja keras saja, ya bisa aja dapet capeknya aja. Sementara kalau kerja cerdas saja, ya bisa saja menghasilkan, tapi pasti akan kalah dengan orang yang kerja keras dengan cerdas.

Contoh kerja cerdas buat saya adalah dengan inovasi. Jadi kalau orang yang berfikir kerja keras saja sudah cukup, sudah jelas tidak akan berfikir dalam bekerja. Yang penting kerja long time, nggak berusaha untuk melakukan lebih baik ketimbang sebelumnya. Tidak melakukan improvement, apalagi inovasi. Ya ujungnya kayak tukang sepatu tadi.

Sebagai pemimpin, kita harus memiliki etos kerja keras, sekaligus juga kerja cerdas agar tim kita bisa perform lebih baik lagi. Peningkatan produktivitas tidak akan mungkin muncul kalau kita hanya bekerja keras. Kenapa? Karena kalau kita fokus pada kerja keras saja, panjangkan waktu kerja supaya produktivitas bisa meningkat. Perbanyak input (kerja) agar output bisa meningkat. Sementara kalau kita kerja cerdas, kita bisa meningkatkan output dengan input yang sama atau lebih sedikit. Sehingga, dengan kerja keras yang sama, output yang dihasilkan lebih banyak lagi.

Kembali lagi, jangan sampai mindset kita atas kerja cerdas adalah sebuah akal-akalan buat orang malas. Tidak sama sekali. Orang yang kerja cerdas seharusnya bukan orang yang malas, tapi mereka berupaya untuk memberikan lebih dengan cara yang lebih baik lagi. Jangan sampai kita akhirnya punya alasan untuk tidak berfikir dalam bekerja for the sake of our mindset bahwa saya nggak mau kerja cerdas karena kerja cerdas itu untuk orang yang nggak jujur. Berfikirlah!

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

Buat situs web atau blog di WordPress.com

Atas ↑

%d blogger menyukai ini: