Tulisan ini bukan tulisan film Die Untergang, yaitu kejatuhan sang diktator jerman, tapi ini terinspirasi dari film dokumenter berjudul downfall yang ada di Netflix yang bercerita bagaimana Boeing yang dikenal sebagai rajanya pesawat harus mengalami kejatuhan dari dominasinya di industri pesawat terbang.
Film ini dibuka dengan cerita betapa kerennya Boeing sebagai produsen pesawat terbang. Sampai ada pameo: if it ain’t Boeing, I ain’t going. Penumpang dan pilot sangat merasa aman terbang jika airline yang mereka naiki menggunakan Boeing.
Tapi cerita itu berubah ketika di Indonesia, terjadi kecelakan pesawat Lion Air di akhir tahun 2018. Cuaca saat itu cerah, kejadiannya pun tidak jauh dari bandara asal dan tidak lama setelah tinggal landas. Pesawat yang digunakan pun merupakan pesawat baru, yaitu Boeing 737 Max yang baru diterima Lion Air di bulan Agustus di tahun yang sama. Ketika kecelakaan itu terjadi, pihak Boeing cenderung menyalahkan Lion Air yang memiliki reputasi yang kurang baik tentang keselamatan penumpang. Selain itu, Boeing pun mulai menyalahkan pilotnya.
Setelah black box pesawat tersebut ditemukan, ternyata ditemukan anomali pada pesawat tersebut. Dan dari hasil penyelidikan, ternyata kecelakaan tersebut disebabkan oleh MCAS yang mallfunction. Semua orang langsung bertanya, apa itu MCAS?
MCAS ini ternyata merupakan system baru yang mencegah pesawat mengalami stall ketika menanjak. System ini mengkompensasi hidung pesawat agar tidak terlalu menanjak. Rupanya entah kenapa, akibat MCAS ini, hidung pesawat malah menukik tajam. Dari rekaman black box, terdengar upaya pilot untuk mengangkat hidung pesawat, naik turun, tapi akhirnya kita sudah tahu apa yang terjadi.
Informasi ini membuat para pilot marah, kok bisa-bisanya ada system baru para pilot tidak tahu. Akhirnya para lobbyist boeing menemui serikat pilot di Amerika dan menjelaskan bahwa memang MCAS ini menjadi salah satu penyebab kecelakaan Lion Air. Mengapa mereka tidak mengungkapkan adanya system baru ini? Alasannya sederhana: mereka tidak ingin terlalu membanjiri terlalu banyak informasi untuk para pilot. Mereka pun berjanji akan memperbaiki software MCAS dan para pilot pun diberi tahu bagaimana cara mematikan MCAS jika terjadi kesalahan sistem. Boeing dengan percaya diri tetap menyampaikan bahwa 737 Max adalah pesawat yang aman. Sampai kejadian di lima bulan kemudian di Ethiopia.
Kejadiannya mirip, cuaca cerah, tidak terlalu jauh dari bandara keberangkatan. Dan reaksi Boeing pun sama: menyalahkan pilot. Tapi lagi-lagi black box membuktikan bahwa ternyata pilot sudah melakukan yang harusnya dilakukan apabila terjadi kesalahan pada MCAS. Menariknya, Boeing keukeuh untuk terus bilang bahwa pesawat ini adalah pesawat yang aman. Dan berkelit bahwa FAA masih belum meng-grounded pesawat ini. Walaupun demikian, berbeda dengan para pilot sebelumnya yang sangat suka dengan Boeing, mereka akhirnya menolak untuk menerbangkan 737 Max tersebut. Dan ini diamini oleh banyak pemimpin negara saat itu. Akhirnya banyak pemerintah di seluruh dunia melarang pesawat ini untuk terbang, tidak terkecuali presiden Trump waktu itu.
Proses Desain 737 Max
Kekacauan ini bermula ketika manajemen Boeing panik melihat kesuksesan Airbus 320 Neo yang efisien dan laku keras. Karena untuk mengembangkan produk butuh waktu lama, mereka akhirnya menggunakan platform 737 yang sudah berusia 40 tahun saat itu. Dengan menempatkan mesin yang lebih besar dan efisien, ternyata harus dilakukan perubahan desain, yaitu diterapkannya MCAS.
Cuman system baru itu jika diungkap ke publik akan memaksa airline harus mengikutkan pilotnya pada training penggunaan pesawat baru tersebut. Dan ini menimbulkan cost baru bagi airline, dan berpotensi membuat 737 Max menjadi tidak kompetitif. Dalam dokumennya tertulis bahwa Boeing akan melakukan segala cara agar 737 Max ini tidak perlu training bagi pilot. Dengan budaya menutupi masalah, hal ini bisa dilakukan. Launching 737 Max sukses besar dengan diterimanya pesanan yang menembus rekor baru bagi Boeing. Tapi seperti yang kita ketahui bersama, bangkai yang dibungkus seperti apapun tetap akan tercium baunya. Dan kejadian di Jakarta dan Ethiopia yang mengungkapkannya.
Perubahan budaya
Di film digambarkan sebelumnya, Boeing adalah perusahaan yang berorientasi pada keselamatan. Ini adalah perusahaan engineering yang mendengarkan suara karyawannya dengan baik. Setiap ada karyawan yang menyuarakan adanya masalah terkait produk dan safety, hal tersebut segera ditindaklanjuti. Boeing saat itu adalah tempat kerja yang sangat membanggakan bagi karyawannya. Mereka seperti keluarga satu sama lain. Sampai ketika di tahun 1996, segalanya berubah.
Di tahun tersebut, Boeing merger dengan McDonnel Douglas, produsen pesawat khusus militer. Merger ini diharapkan dapat memperkuat posisi Boeing terhadap Airbus. Merger ini membawa perubahan besar. CEO McDonnel Douglas, Harry Stonechiper didapuk menjadi CEO Boeing Corporation saat itu. Dan dia membawa perubahan besar dalam budaya Boeing.

Ketika dia memimpin Boeing, tujuan utamanya adalah menyenangkan para shareholder. Setiap orang di Boeing harus paham dengan harga saham Boeing saat itu. Efeknya, setiap orang harus memikirkan bagaimana cara agar Boeing bisa profit lebih besar lagi, lebih produktif lagi. Boeing yang mulanya adalah perusahaan yang berfokus pada teknis engineering dan keselamatan, menjadi perusahaan yang berofkus secara finansial. Saat itu terjadi pengurangan karyawan besar-besaran. Semuanya diminta melakukan dengan cepat. Efeknya, budaya menyampaikan masalah dan menuntaskannya menjadi diharamkan. Karena semua mau cepat, kalau ada yang menyampaikan adanya masalah, apalagi mendokumentasikannya, akan dipecat, dimutasi, atau dihukum. Akhirnya budaya kualitas pun menghilang sedikit demi sedikit. Moril karyawan yang bangga menjadi bagian Boeing pun memudar. Budaya menutupi masalah menjadi dominan. Dalam kesaksian yang disampaikan ex-pegawai Boeing di dalam film ini, ternyata ada saja masalah kualitas yang muncul dari hasil produksi Boeing. Ini efek dari budaya yang ingin semuanya serba cepat demi memuaskan nafsu serakah Wall Street. Ini akibat keserakahan para eksekutif Boeing yang lebih mengutamakan shareholder ketimbang para customernya.
Performance Boeing
Apakah fokus Boeing pada finansial membuahkan hasil yang baik? Tentu tidak!
Kita bisa lihat bahwa sejak merger dengan McDonnel Douglas, market share Boeing bukannya membaik, malah terus menurun dipecundangi oleh Airbus. Di tahun 2003 bahkan Airbus sudah mengalahkan dominasi Boeing:

Dan pertempuran pun berlanjut. Dengan 737 Max yang fenomenal, Boeing bisa berjaya di tahun 2018:

Dan akhirnya, dengan “kehebatan” 737 max yang fenomenal tersebut, akhirnya Boeing harus menelan pil pahit marketshare yang hancur di tahun 2020:

Angka minus di 2020 adalah pembatalan order yang dilakukan oleh Airline sebagai buntut masalah dari 737 Max.
Dan tentu saja ini berimpact secara finansial. Secara revenue, memang Boeing menikmati penjualan 737 Max di tahun 2018. Tapi seperti yang bisa ditebak dari cerita di atas, di tahun 2019 dan 2020 revenue Boeing mengalami kejatuhan.

Revenue yang jatuh tersebut sudah jelas mempengaruhi profit atau net income yang dimilikinya di tahun 2019:

Tapi menariknya, harga saham Boeing itu nggak jatuh-jatuh amat lho. Memang terjadi penurunan dan belum berada di posisi ketika di puncaknya pada tahun 2019. Memang agak aneh juga ya, dengan kejadian dua pesawat yang jatuh, ditambah banyaknya kebohongan (or… white lies) yang dilakukan oleh management Boeing, harga sahamnya baru nyungsep di tahun 2020, itu juga sepertinya efek covid ya.

Jangan Lupakan Sejarah
Cerita yang terjadi di Boeing ini sebetulnya bukan cerita baru. Banyak korporasi besar yang melupakan ruh-nya mengapa perusahan tersebut besar demi memuaskan keserakahan Wall Street. Perubahan budaya dari yang berfokus kepada pelanggan dan kualitas menjadi berfokus kepada finansial menjadi penyebab kejatuhan perusahaan.
Sebut saja Apple pada tahun 1990-an, ketika Scully menjadi CEO Apple. Saat itu terjadi perubahan budaya Apple yang awalnya berfokus pada membuat produk yang cool dan inovatif, menjadi perusahaan yang berusaha mendominasi pasar. Saat itu Steve Jobs pun harus didepak karena dianggap menghambat arah perusahaan. Saat itu Apple mengikuti gaya IBM dengan membuuka arsitekturnya sehingga perusahaan lain bisa membuat clone-nya. Apakah hal itu berhasil? Tentu tidak! Kita sudah tahu hasilnya, bahwa akhirnya Apple bisa kembali berjaya ketika Steve Jobs kembali memimpin Apple dan kembali mengembalikan ruh Apple sebagai perusahaan yang inovatif dengan mengeluarkan produk yang cool.

Dari gambar di atas terlihat bahwa Apple mengalami evolusi budaya. Di awal kepemimpinan Steve Jobs ada di profile 1 di mana Apple berfokus untuk membuat produk yang cool. Terus ketika perusahaan semakin membesar karyawan semakin banyak, tapi Steve Jobs masih mempimpin, perusahaan menjadi extended family (profile 2). Perusahaan pun semakin besar. Karena ingin mempertahankan kehebatannya, standard dan control pun mulai muncul, ini mulai terjadi di awal tahun 1990-an (profile 3). Dan ketika Scully mulai berkuasa dan Steve Jobs didepak, Profile 4 menjadi budaya di Apple, karena berfokus pada standard dan dominasi pasar. Sudah jelas profile 4 adalah profile yang berbeda dari awal Apple dibentuk, yaitu perusahaan yang inovatif dan kekeluargaan. Untung bagi Apple yang bergerak cepat dengan mengembalikan ruh Apple. Ketika Steve Jobs kembali memimpin Apple, Profile 2 kembali dibentuk oleh Steve Jobs.
Ada juga contoh Sony. Sejak kepemimpinan Nobuyuki Idei di tahun 1995, banyak perubahan terjadi. Sony yang awalnya berfokus pada engineering dan memproduksi produk inovatif (kita kenal banyak produk inovatif dari Sony), menjadi perusahaan yang berupaya memuaskan investor. Idei berupaya meningkatkan dominasi Sony dengan mulai masuk ke segmen yang lebih bawah. Selain itu mulai berfokus pada short term result dengan memperkenalkan konsep Economic Value Added dan Six Sigma. Efeknya? Bukannya lebih baik, malahan performance Sony justru lebih buruk, sehingga harus digantikan oleh Howard Stinger di tahun 2005. Gaya Stinger yang lebih memuaskan investor tetap dipertahankan, dan efeknya? Kinerja Sony bukannya membaik, tapi malah memburuk juga:

Nasib Howard Stinger pun sama, harus lengser di tahun 2012, digantikan oleh Kazuo Hirai. Perlu waktu lama Hirai mengembalikan khitah perusahaan menjadi perusahaan yang inovatif. Memang “kerusakan” yang dibuat akibat upaya memuaskan investor harus dibayar mahal dengan waktu yang harus dibeli untuk mengembalikan perusahan kepada ruh aslinya. Beruntung bagi Sony dan Apple yang berhasil lolos dari lubang jarum akibat tidak mengikuti arahan leluhurnya.
Lesson Learned
Perubahan dan persaingan memang selalu terjadi. Ini memaksa perusahaan untuk berubah. Tapi memang kita harus bisa memilah mana yang harus berubah, dan mana yang harus dipertahankan. Seorang pemimpin yang hebat memiliki kebijaksanaan tersebut. Mereka mampu mengidentifikasikam Budaya perusahaan yang memang membuat perusahaan menjadi besar sehingga harus dipertahankan. Jangan seperti Harry Stonechiper, atau Scully, atau Idei yang demi mengejar pertumbuhan yang agresif mereka melakukan potong kompas dengan mengubah budaya luhur perusahaan.
Budaya perusahaan sekali lagi penting. Drucker bilang Culture eats strategy for breakfast. Contoh kehamcuran perusahaan yang saya sampaikam di atas hanya sebagian kecil dari kehancuran perusahaan lainnya akibat pembentukan budaya yang salah. Pada mulanya busaya yang salah akan menimbulkan disengagement dari karyawan. Tapi kemudian itu akan terus menimbulkan reputasi yang buruk akibat produk yang buruk. Efeknya? Mungkin para eksekutif secara short term bisa menikmati hasilnya karena masih ada momentum effect akibat reputasi perusahaan masih membekas. Tapi jangan lupa, kompetitor terus bergerak. Customer makin lama bisa mencium bau busuknya, sehingga mereka akan berlih ke competitor. Ini terlihat jelas ketika Airbus di tahun 2003 sudah menyalip Boeing. Ini mungkin memaksa eksekutif Boeing saat itu untuk melakukam perubahan Boeing menjadi perusahaan yang berfokus pada Wall Street.
Tapi ada hal yang prinsip yang tidak berubah. Keserakahan selalu tidak membuahkan hasil yang manis. Memuaskan investor itu penting, tapi itu menjadi tidak ada gunanya ketika customer tidak kita puaskan dengan baik. Dan customer bisa dipuaskan dengan produk yang berkualitas dari hasil proses yang berkualitas. Dan jangan lupa, produk yang berkualitas dihasilkan oleh karyawan (human capital) yang berkualitas dan engage, serta memiliki budaya perusahaan yang sehat (organization capital).
Ini sudah digambarkan oleh konsep strategy maps dalam balanced score card berikut:

Tapi ada satu hal yang saya kritisi dari Balanced Score card di atas. Dengan konsep kapitalisme bahwa tujuan perusahaan untuk Maximizing Shareholder Value seharusnya sudah menjadi konsep yang basi. Konsep itulah yang menyebabkan kehancuran perusahaan seperti Boeing di atas.
Seharusnya, perusahaan memiliki tujuan lebih dari itu, yaitu untuk kebermanfaatan bagi sekitar. Jadi tujuan berbisnis bukanlah finansial, tapi spiritual. Ada hal yang lebih dari sekedar uang. Dengan demikian balanced scorecardnya lebih baik seperti ini:

Dan hal ini sudah diajarkan oleh Henry Ford:


Cerita tentang intel yang ternyata terlihat kehilangan founder’s mentality-nya bisa dilihat di tulisan saya sebelumnya di sini: Intel Sudah Kehilangan Founder’s Mentality-nya?

Tinggalkan Balasan