Mau punya tim yang Agile?

Tulisan ini merupakan bagian kedua sebagai ringkasan dari buku X-Teams karya Deborah Ancona. Untuk kita yang sedang membangun organisasi yang lebih agile, konsep X-Teams sangat tepat untuk dipelajari. Sebelumnya saya membahas tentang bagaimana tim yang terlihat kompak ternyata masih bisa tidak efektif. Jika Anda belum membacanya, bisa dilihat di sini.

Dunia semakin berubah. Dengan banyaknya perubahan akan memberikan tantangan Baru dalam menyusun tim. Ketika bisnis semakin berkembang, orang semakin banyak, efeknya organisasi pun semakin besar. Tapi ini menumbuhkan masalah baru. Dengan perubahan semakin cepat, sementara organisasi justru semakin lambat. Efeknya? Perlu ada pendekatan baru dalam mendesain organisasi.

Dengan kompleksitas perubahan yang semakin rumit, organisasi makin harus kemberdayakan front liner untuk memutuskan. Dengan demikian, semakin lama middle management semakin tidak penting. Top management lah yang menyusun strategi, dan kemudian level operasional lah yang mengeksekusi strategi tersebut. Middle management menjadi tidak penting apabila frontliner bisa memutuskan.

Untuk itu trend saaat ini adalah menciptakan organisasi dengan distributed leadership. Untuk itulah X-Teams diciptakan. Apa itu X-Teams? Huruf X di sini bermakna eksternal. Dengan demikian, X-Teams adalah team yang berorientasi pada faktor external. Nah, orientasi di sini bukan berarti terlalu berfokus secara external ya. Kekompakan tim internal juga tetap perlu dibangun, tapi itu semua dibangun melalui bagaimana mereka berprestasi melalui aktivitas externalnya. Ceritanya bisa dilihat di tulisan saya sebelumnya di sini.

Ada 4 kompetensi yang harus dimiliki leader dalam X-Teams: Sense Making, Visioning, Relating, Inventing. Sense-making adalah kemampuan untuk melihat apa yang terjadi di luar dan kemudian melihat konteks dan impactnya apa terhadap tim dan organisasi. Visioning adalah kemampuan untuk mengambarkan masa depan dan tujuan tim. Relating adalah kemampuan untuk berinteraksi dengan pihak external maupun tim lain dalam organisasi. Dan Inventing adalah kemampuan untuk mengeksekusi dan make it happen dari rencana yang sudah dibuat.

Dalam membangun x-team yang efektif, ada tiga prinsip yang digunakan:

  1. External Activity
  2. Extreme Execution
  3. Flexible Phases

External Activity

Ada tiga external activity yang dilakukan oleh sebuah X-Team:
1. Scouting
2. Ambassadorship
3. Task coordination

Scouting adalah kegiatan sebuah x-team untuk mencari informasi yang dibutuhkan agar mereka dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Ini termasuk juga mendapatkan ekspektasi dari customer mereka. Aktivitas ini juga termasuk menemukan ilmu dan informasi baru (key centers of expertise). Untuk melakukan scouting, dibutuhkan mindset dan culture akan kesadaran (awareness). Ada tiga tugas utama dalam melakukan scouting: melihat apa yang terjadi di luar organisasi (staking out the organizational terrain); memantau trend external (monitoring external trends), kompetitor serta aktivitas pelanggan; dan proses pembelajaran melalui orang lain (vicarious learning).

Ambassadorship adalah aktivitas tim untuk berhubungan dengan pihak yang memiliki resource di dalam organisasi, yaitu manajemen perusahaan. Aktivitas ini dilakukan untuk mendapatkan resource yang dibutuhkan dalam menjalankan tugasnya. Selain itu juga aktivitas ini dilakukan untuk mendapatkan buy in dan support dari para atasan.

Task coordination adalah aktivitas tim untuk berkoordinasi dengan tim lainnya di dalam organisasi. Dalam aktivitas ini terdapat 3 tugas: mengidentifikasikan saling ketergantungan (identifying dependencies); mendapatkan feedback dari tim lain; serta mempengaruhi tim lain untuk membantu tim tersebut dalam menuntaskan tugasnya.

Extreme Execution

Ini merupakan kombinasi dengan external activity, yaitu extreme execution di dalam tim. Untuk menjalankan eksekusi dengan baik, dibutuhkan budaya yang aman dalam melakukan eksekusi (a safe culture for extreme execution). Untuk itu dibutuhkan 3 hal: Psychological safety, team reflection, dan mengetahui apa yang diketahui orang lain (knowing what others know).

Dengan keamanan psikologis, anggota tim dapat bebas mengungkapkan pendapatnya tanpa khawatir akan mendapatkan masalah di kemudian hari. Cirinya jelas: apakah tim bisa mengungkapkan pendapatnya, tanpa harus ada yang ditutupi. Walaupun ini tentu saja perlu diimbangi dengan budaya saling menghargai. Terlalu terbuka dengan menyerang juga bukan indikasi adanya psychological safety. Yang pasti, dengan adanya psychological safety, anggota tim sudah saling percaya satu sama lain. Semuanya sudah paham bahwa satu sama lain memiliki niat baik untuk kepentingan tim, bukan untuk kepentingan pribadi.

Eksekusi yang ekstrim juga membutuhkan tim yang terus belajar. Di sini proses refleksi (atau Hansei dalam budaya jepang) adalah merupakan proses pembelajaran atas apa yang dilakukan agar apa yang dilakukan di masa mendatang terus lebih baik lagi.

Agar tim bekerjasama dengan baik dalam mengeksekusi rencananya, perlu adanya kerjasama yang baik. Untuk itu antar anggota tim harus paham betul apa yang diketahui oleh anggota tim lainnya. Dengan demikian antar anggota tim bisa saling melengkapi satu sama lain, sesuai dengan ekspertisenya masing-masing. Ujungnya agar terjadi sinergi di dalam tim.

Flexible Phases

Dalam menjalankan tugasnya, sebuah tim harus paham ada tiga fase yang harus dilalui agar hasil kerjanya dapat dirasakan oleh para stakeholder: explorasi, exploitasi, exportasi. Tim harus paham akan tiga fase tersebut agar tim tidak terjebak hanya di satu fase saja. Setiap team harus segera pindah dari satu fase ke fase lainnya, hingga tahap exportasi, yaitu delivery produk kepada para stakeholder. Dalam buku dicontohkan, ada tim yang tidak selesai-selesai melakukan eksplorasi, sehingga para stakeholder tidak happy dengan hasil kerja tim tersebut.

Tahap pertama, yaitu eksplorasi adalah tahapan mencari informasi dan segala hal yang dibutuhkan dalam mendesain produk / service yang akan dibuat. Pada tahap ini juga dilakukan proses mendapatkan buy in dari top management. Dengan demikian, pada tahap ini aktivitas yang dilakukan adalah scouting dan juga ambassadorship. Kemampuan leadership yang dibutuhkan pada tahap ini adalah sensemaking dan relating.

Tahap selanjutnya, yaitu eksploitasi adalah memilih salah satu opsi dari eksplorasi dan kemudian mengubah ide dan rencana menjadi realitas dalam bentuk prototyping atau piloting. Prosesnya sudah mulai dilakukan secara internal, yaitu mendapatkan buy in dari top management dan juga tim lainnya dalam organisasi. Aktivitas yang dilakukan pada tahapan ini adalah ambassadorship dan task coordination. Kemampuan leadership yang dibutuhkan pada tahapan ini adalah visioning dan inventing.

Tahap terakhir adalah eksportasi, yaitu mentransfer project yang dilakukan oleh x-team kepada pihak lain yang akan menjalankan hasil project tersebut secara rutin. Aktivitas yang dilakukan pada tahapan ini adalah task coordination dan ambassadorship. Dan kemampuan leadership yang dibutuhkan adalah relating.

Catatan: memang konsep tahapan bisnis di buku X-Team ini berbeda dengan tahapan pada umumnya, yaitu hanya eksplorasi dan eksploitasi saja (seperti konsep pada buku The Invincible Company). Proses yang disebut eksploitasi, khususnya bagian prototyping dalam buku ini biasanya masih ada pada tahap eksplorasi. Sedangkan tahapan eksportasi dalam buku ini biasanya ada pada tahap eksploitasi di tempat lain.

Contoh penerapan

Misal, perusahaan punya strategi untuk mengembangkan bisnis baru. Untuk itu dibentuk tim Business Innovation and Development (tim BID) di holding company di salah satu group perusahaan terkemuka. Tahapan yang harus dilakukan oleh tim tersebut adalah eksplorasi untuk mencari sebanyak-banyaknya peluang bisnis yang cocok, memilih salah satu opsi eksploitasi tersebut, dan kemudian eksportasi bisnis tersebut untuk dijalankan.

Ketika tahapan eksplorasi, tim melakukan analisa industri mana saja yang bisa dimasuki, melihat struktur industrinya. Di tahapan ini pula dicari peluang bisnis dengan melihat ukuran pasar yang bisa di jadikan target. Dilihat juga persona dari target consumer, apa yang mereka harapkan dan apa pain yang selama ini belum dapat di selesaikan oleh kompetitor. Ini semua adalah aktivitas scouting. Pada aktivitas ini, agar semua informasi dapat menjadi insight yang bermakna bagi tim sehingga dapat menjadi keputusan, maka kemampuan leadership yang dibutuhkan adalah sense making. Pada tahapan ini pula terjadi proses mendapatkan buy in dan input dari top management, mengenai alternatif-alternatif peluang bisnis yang berpeluang untuk dimasuki. Ini adalah proses ambassadorship. Agar mendapatkan buy in dari top management, kemampuan yang harus dimiliki adalah relating.

Dari semua peluang bisnis yang ingin dimasuki, akhirnya dipilihlah salah satu opsi yang akan dieksploitasi. Pada tahap ini proses membangun bisnis mulai dilakukan. Objective dan target mulai dibuat. Bentuk perusahaan harus dibuat makin konkrit. Gambar dari business model canvas makin diperjelas di sini. Kemampuan yang dibutuhkan dalam proses ini adalah visioning. Selain itu, proses back and forth dengan top management untuk mendapatkan resource dan approval agar bisnis ini bisa dijalankan menjadi tema yang cukup dominan di sini. Aktivitas yang dilakukan adalah ambassadorship. Selain itu, dalam membangun bisnis perlu membangun fasilitas proses produksi dan distribusi, maka tim BID tersebut harus berkoordinasi dengan tim produksi dan tim distribusi dari salah satu perusahaan yang memang memiliki fasilitas tersebut. Di sini ada diskusi apakah bisnis baru tersebut dapat menggunakan fasilitas yang ada saat ini, atau memang harus membangun fasilitas baru, atau mungkin harus berpartner dengan mitra luar. Jika memang akan menggunakan fasilitas yang ada, maka dimulailah project menyiapkan fasilitas yang ada agar dapat memproduksi barang di bisnis baru tersebut. Termasuk juga fasilitas distribusinya. Pada tahapan ini pula tim baru dibentuk. Tim ini adalah tim inkubasi yang akan menjalankan bisnis tersebut. Pada awalnya, pasti tim BID dan tim inkubasi akan berkoordinasi erat, karena rencana bisnis yang detail harus dibuat bersama-sama antara tim BID dan tim inkubasi. Tim inkubasi yang dibentuk tentu saja sangat bergantung dari business model yang didesain. Aktivitas ini adalah task coordination. Dan kemampuan yang dibutuhkan agar ini semua dapat terlaksana adalah kemampuan inventing. Semua proses ini dilakukan sampai dilakukan piloting project sampai didapatkan traksi bisnis tersebut apakah memang layak dilanjutkan atau tidak. Jika akhirnya bisnis tersebut layak dilanjutkan maka akan masuk ke tahapan berikutnya.

Tahapan terakhir adalah tahapan eksportasi, yaitu tahapan bisnis tersebut akan lepas dari inkubasi yang dimonitor oleh tim BID tersebut. Pada tahapan ini, bisnis sudah mendapatkan traksinya. Tim nya pun sudah relatif lengkap. Pada tahapan ini tim BID akan mendapatkan feedback dari top management mengenai bisnis yang baru dibentuk tersebut agar dapat menjadi pembelajaran bagi pembentukan bisnis di masa mendatang. Ini adalah aktivitas ambassadorship. Pada tahapan ini juga terjadi transisi tim inkumbasi menjadi bisnis unit tersendiri. Ini adalah aktivitas task coordination.

Dalam semua tahapan tersebut, tim BID harus juga menjalani prinsip extreme execution. Semua tim diberikan kebebasan untuk mengungkapkan concern, pendapat, ide. Ini terjadi karena adanya psychological safety di antara semua tim. Dan ini semua dapat terjadi hanya jika terdapat rasa saling percaya di antara tim. Dalam setiap tahap tersebut, tim juga selalu melakukan retrospective atau Hansei, yaitu refleksi tentang apa yang sudah dilakukan, apa pembelajarannya, sehingga akan terjadi selalu perbaikan terus menerus. Dan tim ini sendiri juga sudah saling paham satu sama lain, bagaimana kemampuan tim saling melengkapi sehingga terjadi sinergi. Untuk saling memahami satu sama lain, selain didasari oleh hasil psikotes (DISC, strengths finder, MBTI), juga terjadi dialog yang terbuka antara satu sama lain. Karena tim ini adalah tim yang memang baru dibentuk, sehingga secara kompetensi masih harus dibangun, maka terjadi akselerasi pembelajaran sehingga mereka dapat memiliki kompetensi yang dibutuhkan untuk menjalankan tugasnya. Di sini mereka mengundang ahli-ahli di bidangnya, seperti inovasi, design thinking, dsb untuk mengajari mereka bagaimana melakukan hal tersebut dengan tepat. Ini contoh dari vicarous learning, yaitu belajar dari orang lain.

Satu respons untuk “Mau punya tim yang Agile?

Add yours

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

Buat situs web atau blog di WordPress.com

Atas ↑

%d blogger menyukai ini: