Seorang pernah bertanya kepada saya, “jika Sir Edmun Hillary ditemani seorang sherpa bernama Tenzing Norgay dalam mendaki mount Everest, artinya Sir Edmun Hillary bukanlah orang pertama yang mencapai puncak mount everest donk? Karena seorang sherpa tugasnya adalah sebagai pemandu yang berjalan di depan”. Dari beberapa cerita, ternyata sang sherpa tersebut pun bercerita, ketika menjelang puncak mt. Everest, dia mempersilahkan Sir Edmun Hillary untuk jalan terlebih dahulu dan menjadi orang pertama yang mencapai puncak mt. Everest.
Seorang Sherpa adalah pemandu profesional di pegunungan Himalaya yang memastikan agar clientnya bisa mencapai puncak dan kembali dengan selamat. Dia harus paham betul medan yang dilalui, bisa baca situasi, serta harus pandai berhitung mempersiapkan perbekalan yang tepat, agar tidak terlalu banyak hingga membebani, atau kurang hingga tidak mencapai tujuan. Dalam perjalanan yang sulit, dia harus dapat melihat situasi dengan tepat dan dapat menyesuaikan jalan agar anggota ekspedisi dapat selamat. Singkat cerita, seorang sherpa harus memiliki kemampuan dalam berstrategi sekaligus taktis.
Menjadi seorang sherpa harus memiliki kualitas sebagai orang yang pintar sekaligus tangguh. Dia juga harus memiliki empati terhadap situasi para anggota ekspedisinya. Sudah jelas pula bahwa sherpa harus memiliki keberanian untuk menghadapi situasi sulit yang mungkin menghadang pada perjalanan, tapi bukan berani yang nekat, melainkan berani yang penuh dengan perhitungan. Saya teringat dari ajaran founder di perusahaan tempat bekerja saya, yang menyatakan bahwa esensi menjadi seorang pemimpin adalah to lead, yang artinya membimbing. Dari sini saya menyimpulkan, seorang sherpa harus memiliki leadership, atau bahkan sebaliknya, seorang leader yang hebat harus memiliki kualitas seorang sherpa.
Dari seorang sherpa, saya belajar banyak hal, yaitu seorang leader diharapkan memiliki kualitas sebagai berikut:
Membimbing timnya untuk mencapai puncak
Kembali dengan pengertian to lead yang artinya membimbing, maka tugas pertama seorang leader adalah membimbing timnya. Artinya membantu timnya untuk dapat melakukan tugasnya dengan baik. Menunjukkan arah yang benar. Menyiapkan timnya agar siap mencapai tujuan bersama. Dengan menjadi pembimbing, artinya kita harus paham betul arah dan jalan yang benar. Saya teringat ketika ospek 25 tahun yang lalu. Kami meneriakkan yel-yel:
What is a leader?
A leader is the one who..
knows the way
shows the way
and goes the way
Saya juga merasa bahwa menjadi leader yang baik adalah seorang leader yang mampu menjadi fasilitator yang baik bagi timnya. Mengembangkan timnya untuk terus maju. Saya jadi teringat pada saat training leadership sepuluh tahun yang lalu, bahwa kredonya: leaders should create leaders. Tugas kita yang utama sebagai leader adalah menciptakan leader-leader lainnya untuk masa depan. Saya juga teringat arahan mentor saya dua puluh tahun yang lalu. Di hari-hari pertama seorang leader bekerja adalah bukan membuat strategi, juga bukan membuat perencanaan. Tapi tugas pertama seorang leader adalah mencari dan menyiapkan siapa penggantinya. Artinya, memang dari awal kita harus menyiapkan tim kita agar siap menjadi leader.
Mampu melakukan perencanaan yang matang
Dalam perjalanan menuju tujuan, pasti ada hambatan dan rintangan. Minimal, perjalanan panjang. Untuk itu perlu adanya perencanaan yang matang, yaitu salah satunya adalah perlengkapan dan persediaan apa saja yang harus dibawa dalam perjalanan tersebut.
Perhitungan ini haruslah matang, karena selain biaya. yang harus disiapkan, tapi juga harus tepat. Jika kelebihan, maka perlengkapan dan persediaan tersebut akan membebani ekspedisi. Perjalanan menjadi lebih lambat dari seharusnya. Ini juga menyebabkan kelelelahan bagi anggota ekspedisi. Sebaliknya, jika kurang dari seharusnya, maka ekspedisi bisa tidak mencapai tujuannya. Seperti kisah sherpa yang sama menemani Sir Edmund Hillary, yaitu Tenzing Norgay. Di tahun 1952, satu tahun sebelum keberhasilannya mencapai puncak dunia, Tenzing Norgay membimbing Raymond Lambert untuk mencapai mt. Everest. Namun sayang mereka hanya nyaris mencapai south summit karena kurang persediaan. Jika mereka memaksa untuk mencapai puncak, nyawa taruhannya.
Memang perencanaan yang matang juga membutuhkan pengalaman. Seperti Tenzing Norgay yang berpengalaman kekurangan persediaan. Untung beliau belajar dari kesalahan sebelumnya, sehingga setahun kemudian dapat membantu Edmund Hillary untuk mencapai puncak dunia. Pengalaman di sini artinya adalah pembelajaran. Saya melihat bahwa seorang pemimpin harus mampu melakukan PDCA dengan baik. Plan yang baik haruslah berdasarkan hasil Check dan Act dari tindakan sebelumnya. Ciri dari PDCA yang baik adalah adanya perbaikan yang terus menerus, karena belajar dari pengalaman sebelumnya. Perencanaan yang dibuat lebih matang. Itulah yang dilakukan oleh Tenzing Norgay.
Siap menghadapi kondisi sulit
Bagaimanapun matangnya perencanaan dibuat, pasti ada saja situasi yang sulit yang dihadapi di perjalanan menuju puncak. Memang perencanaan yang baik harus memasukkan contigency plan. Tapi pasti ada saja yang tidak sesuai dengan rencana. Untuk itu seorang sherpa harus antisipatif, siap dengan segala kemungkinan. Harus agile dan lincah ketika ada situasi yang sulit. Jika menghadapi tantangan yang berat, harus memiliki resiliency, agar tidak mudah menyerah. Ingat, seorang sherpa sudah jelas adalah seorang climber, bukan camper, apalagi quitter.
Demikian pula seorang leader. Ketika menjalankan rencananya, pasti ada saja kendala yang dihadapi. Ketika menghadapi kesulitan, seorang leader harus menunjukkan agility dan resilient. Apa pendapat kamu jika melihat leader yang langsung menyerah ketika menghadapi masalah? Pasti kamu nggak mau mengikuti leader tersebut kan?
Seorang leader juga harus memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Bisa jadi dia tahu tujuan dan arah yang harus ditempuh. Tapi apakah dia tahu 100% itu adalah jalan yang benar? Belum tentu! Saya pernah ngobrol dengan salah seorang CEO yang menyatakan bahwa dia juga nggak 100% yakin jalan yang ditempuh adalah jalan yang benar. Tapi yang terpenting adalah percaya diri dulu, jalani dulu, kemudian adjust ketika di perjalanan. Jika memang harus dilakukan, mengubah arah juga bisa dipilih.
Berjalan bersama timnya untuk mencapai tujuan
Seorang sherpa tidak ada artinya tanpa adanya tim expedisi untuk perjalanan menuju puncak. Demikian pula expedisi tidak akan bisa mencapai puncak tanpa adanya panduan dari sherpa. Sudah jelas dalam perjalanan menuju puncak, seorang sherpa bukanlah orang yang hanya memberikan arahan dari jauh melalui walky talky. Dia juga ikut dalam perjalanan, kadang berjalan di depan, kadang berjalan di belakang, bersama expedisi. Dia juga bukan orang yang sekedar menyuruh ekspedisi untuk melakukan perjalanan, tapi dia pasti menyertai perjalanan tersebut.
Demikian juga seorang leader. Dia haruslah ikut berjalan bersama timnya. Seperti yel-yel yang saya tuliskan di atas, a leader is the one that not only knows and shows the way, but also goes the way. Ini juga sesuai dengan ajaran Ki Hajar Dewantara:
ing ngarso sung tulodo
Ki Hajar Dewantara
ing madyo mbangun karso
tut wuri handayani
Seorang pemimpin diharapkan dapat berada di depan menjadi teladan, di tengah membangun semangat, dan di belakang memberikan dorongan. Seorang pemimpin bukanlah seorang hanya sekedar memberikan arah terus ongkang-ongkang kaki menyuruh timnya yang bekerja. Seorang pemimpin juga harus hand on jika ada timnya yang kesulitan dalam menjalankan tugasnya.

Pendengar yang baik
Seorang sherpa harus menjadi pendengar yang baik. Artinya dia bisa paham betul apa yang terjadi dengan anggota ekspedisinya. Menjadi pendengar yang baik artinya juga bisa mendengar situasi sekitar dengan baik, ada perubahan apa yang terjadi. Dia haruslah mindful dengan apa yang terjadi di sekitar maupun dengan anggota ekspedisinya. Dia juga harus mendengar masukan dari anggota ekspedisi agar perjalanan tersebut lebih baik lagi.
Seorang leader juga harusnya menjadi pendengar yang baik. Sama dengan sherpa, harus mendengarkan juga masukan dan juga paham dengan apa yang terjadi dengan timnya. Kalau dari buku X-team, seorang leader harus memiliki kemampuan sense making. Kemampuan ini adalah kemampuan untuk membuat apa yang terjadi di sekitar kita menjadi masuk akal (make sense). Artinya, dia bisa mengolah informasi dan situasi di sekitar menjadi relevan terhadap tindakan yang harus diambil oleh tim. Sense making di sini bukan hanya sekedar peka, tapi juga harus actionable. Jangan sampai kita sebagai leader tahu situasi lingkungan, tapi tidak mengambil tindakan yang sesuai dengan situasi tersebut. Kembali lagi, bukan sekedar tahu, tapi harus juga melakukan.
Knowing is not enough, we must apply.
Bruce lee
Willing is not enough, we must do
Don’t take credit
Terakhir seorang sherpa sadar dia bukanlah orang yang utama dalam perjalanan. Tugasnya adalah memandu dan menemani. Tim ekspedisilah tokoh utamanya. Persis seperti kisah Tenzing Norgay yang mempersilahkan Sir Edmund Hillary untuk berjalan menuju puncak. Secara profesional dia memang tugasnya hanya menemani, bukan mendapatkan ketenaran dengan tugasnya tersebut. Dia sudah siap tidak mendapatkan nama, tapi cukup puas ketika orang yang dibimbingnya bisa mencapai puncak dan kembali dengan selamat.
Demikian pula dengan leader. Menurut saya, leader yang baik bukanlah tipe alpha leader yang berdiri di depan, mengambil kredit atas keberhasilan tim. Kalau begitu namanya cukup boss saja, bukan leader. Karena pencapaian adalah akibat pekerjaan bersama, maka seorang leader memberikan credit kepada seluruh tim ketika mencapai tujuan. Tapi juga mengambil tanggung jawab ketika terjadi kegagalan. Seorang leader yang hebat senang ketika timnya bisa menuju puncak dan “mengalahkan” dirinya, karena dia hanyalah pembimbing timnya menuju puncak. Tidak lebih.

Di bawah ini adalah video leadership signature yang menegaskan ciri-ciri seorang pemimpin:
Tinggalkan Balasan