Membaca berita makin banyaknya start up yang mem-PHK karyawannya membuat saya teringat moment dotcom bubble yang terjadi di awal tahun 2000-an. Dulu, ketika internet booming, banyak perusahaan rintisan berlabelkan dotcom yang latah mengadu peruntungannya di internet. Bisnisnya bermacam-macam, mulai dari portal berita, search engine, bahkan ada yang buat marketplace. Di Indonesia bermunculan ada Astaga.com, ada lipposhop.com, kalau di luar ada banyak dotcom yang saat ini mungkin hanya tersisa Amazon dan Google yang Berjaya. Kalau di Indonesia yang masih ok so far saya lihat adalah detik.com. Karena dotcom saat itu berjamur namun bisnis modelnya belum teruji, efeknya adalah akhirnya mereka runtuh satu persatu.
Kejadian yang mirip saya lihat saat cerita digital application berjamur sejak di awal 2000 belasan. Didukung ekosistem apple dan android dengan smartphonenya, internet bukan hanya diakses melalui PC atau notebook saja. Sekarang internet sudah ada di dalam genggaman kita. Didukung dengan infrastruktur bandwidth yang semakin cepat, perusahaan digital startup pun berjamuran. Sekarang startup berlomba-lomba untuk meningkatkan valuasi dan menjadi perusahaan unicorn, atau bahkan decacorn. Karena perusahaan start up ini masih merugi, ukurannya adalah transaksi. Valuasinya makin gila-gilaan nggak masuk akal. Perusahaan Goto yang umurnya nggak lebih dari 15 tahun saja valuasinya sudah mengalahkan Astra International yang umurnya sudah lebih dari 60 tahun. Ini juga didahului oleh Bukalapak yang memecahkan rekor dana yang berhasil diraup Ketika IPO.
Tanda-tanda keruntuhan perusahaan startup memang makin terlihat Ketika mulai banyaknya PHK yang dilakukannya. Mereka terpaksa melakukan PHK demi efisiensi, karena mereka mulai sulit mendapatkan pendanaan baru. Para venture capital (VC) mulai mengerem pengucuran dana kepada start up karena mereka mulai melihat bahwa berinvestasi di startup kelihatannya bukanlah hal yang prospektif
The Basic: Business 101
Sebelum kita bahas kenapa bubble burst dari start up sudah mulai terjadi, mari kita bahas hal yang fundamental dalam berbisnis. The very basic things of doing business is to make money. Sangat pragmatis, karena kita harus hidup, dan hidup membutuhkan makan, dan makan membutuhkan uang. Very simple. Untuk mendapatkan uang, kita harus berinvestasi pada asset tertentu, kemudian mendapatkan return dari asset tersebut.
Ada dua cara mendapatkan uang, yang pertama mendapatkan return dari operasional asset tersebut. Yang kedua adalah mendapatkan capital gain dari penjualan asset tersebut. Contoh paling sederhana: punya kontrakan rumah. Ketika kita membeli rumah dan tujuannya adalah untuk mendapatkan uang, maka kita bisa mendapatkannya dengan cara menyewakannya. Itu bisa dibilang sebagai income from operation. Inilah yang sering disebut sebagai berbisnis. Cara kedua adalah kita mendapatkan uang dengan menjual rumah tersebut. Ketika harga rumah naik, maka kita mendapatkan capital gain. Ini umumnya disebut sebagai investment.
Kalo kita beli rumah seharga 5 Milyar, tapi setiap tahun kita hanya bisa mendapatkan 10 juta per bulan, artinya uang kita baru balik modal kira-kira 4 – 5 tahun. Nah, kira-kira mau kah kamu menginvestasikan uang 5 milyar, tapi baru balik 5 tahun lagi?
Kalau terkait property, terkadang yang diharapkan orang untuk berinvestasi adalah capital gain, karena uang sewanya biasanya terlalu kecil. Jadi, berharap di tahun ke-tiga misalnya, rumah itu bisa dijual seharga 7 Milyard. Artinya, dalam tiga tahun, kita sudah bisa mendapatkan 2M capital gain ditambah dengan uang sewa sebesar 360 juta. Lumayan kan?
Sekarang gimana kalo situasinya begini. Kamu sudah invest 5 M di rumah tersebut. Tapi ternyata nggak ada orang yang mau sewa dari rumah tersebut. Malahan kamu masih harus terus suntik dana perawatan rumah, karena bisa jadi rumah tersebut kan harus ada yang diperbaiki. Setelah tiga tahun, ternyata kamu sudah mengeluarkan total 6 M untuk rumah tersebut, tapi nggak dapat uang sewa sama sekali. Tapi kamu masih berharap kalau di tahun ke 5 akan ada jalan tol yang aksesnya langsung ke perumahan tersebut, sehingga harga jualnya bisa sampe 15M. Dan Ketika di tahun tersebut, ternyata harga jualnya hanya….. 6M saja. Kira-kira gimana perasaan kamu?
Investasi di Start Up
Kembali ke perusahaan start up. Para VC berinvestasi ke start up kalau menurut saya tujuannya adalah untuk mendapatkan capital gain. Walaupun ada juga yang berinvestasi untuk mendapatkan sinergi dengan anak perusahaan lainnya, seperti Telkomsel yang berinvestasi di Goto. Kalau melihat model bisnisnya, kayaknya susah banget perusahaan start up mendapatkan profit dalam waktu dekat. Bedanya antara start up dengan perusahaan biasa adalah dominasi pasar. Start up dibangun ingin menjadi seperti amazon yang dominan dan menjadi market leader. Untuk menjadi market leader, strateginya adalah membangun customer base sebesar-besarnya, kemudian mengikat mereka untuk terus menggunakan aplikasinya. Dengan platform digital yang menjanjikan akses langsung ke customer secara individual dengan skala besar, diharapkan perusahaan start up tidak membutuhkan fixed asset yang mahal, inginnya asset light. Semua dana investasi digunakan untuk membangun aplikasi dan mengakuisi pelanggan, atau bahasa umumnya disebut sebagai bakar uang.
Dengan bakar uang, para VC dijanjikan akan mendapatkan valuasi yang terus meningkat. Makanya valuasi perusahaan startup tidak dihitung berdasarkan proyeksi free cash flow from operation, melainkan dengan angka transaksi atau customer base yang dimiliki oleh start up tersebut. Semakin ke sini, angka valuasi perusahaan start up semakin tidak masuk akal. Entah kenapa.
Pandemi pun datang. Beberapa perusahaan digital, khususnya marketplace dan delivery seharusnya bisa mendapatkan traksi yang besar. Memang transaksi digital akibat PPKM meningkat sangat tinggi. Dan di saat menjelang akhir pandemic, dua raksasa marketplace di Indonesia melakukan IPO di bursa. Dengan IPO tersebut kemudian terbukalah struktur finansial kedua start up tersebut yang ternyata bakar uangnya sangat tidak masuk akal. Di saat pandemic yang seharusnya marketplace bisa berpesta mendapatkan profit, justru ternyata hanya mendapatkan transaksi tapi tidak membuahkan profit. Silahkan dilihat laporan keuangan Buka maupun Goto. Revenue yang didapat sangatlah kecil ketimbang transaksi yang terjadi di kedua aplikasi tersebut. Sementara, ongkosnya sangatlah besar, sehingga loss yang dihasilkan pun sangat besar. Bagaimana kedua perusahaan tersebut bisa bertahan? Ya dari suntikan dana dari para investor tentunya. Pertanyaanya, sampai kapan investor mau menyuntik dana tersebut?

Di awal IPO, BUKA sempat naik harganya, tapi terus nyungsep. Kejadian yang sama pun terjadi pada saham Goto, walaupun Ketika tulisan ini dibuat, harga sahamnya sudah Kembali di atas harga IPO. Padahal IPO merupakan exit strategy para investor awal demi mendapatkan capital gain dari investasi mereka selama ini. Oke lah selama ini mereka nggak dapat dividen dari operasi perusahaan start up tersebut, selama bisa dapat capital gain Ketika sudah IPO. Tapi ternyata jauh panggang dari api. Harga saham buka sudah jauh di bawah harga awal dulu IPO. Pada tulisan ini dibuat harganya di 304 per lembar saham, padahal di awal-awal dulu harga BUKA berada di angka 1325 per lembar saham.

Nasib yang mirip juga terjadi di saham GOTO, sempat naik sebentar, tapi akhirnya turun terus, tapi akhirnya rebound dan sekarang berada di angka 352, di atas harga IPO di 338 per lembar saham. Memang harganya pasti masih di atas harga waktu para VC masuk invest dulu. Tapi untuk saham GOTO, para pemegang saham awal dulu baru boleh menjual sahamnya setelah 6 bulan IPO. Nah, siapa yang bisa jamin harga GOTO masih bisa bertaham di saat 6 bulan tersebut?

Model bisnis start up
Ternyata, secara model bisnis start up yang selama ini dianggap inovatif, ternyata masih menggunakan strategi yang primordialis untuk mendominasi pasar: predatory pricing. Ya, memang cara paling mudah untuk mengakuisisi customer adalah dengan memberikan harga yang menarik, biar mereka merasakan pelayanan yang nyaman, dan kemudian harga lama kelamaan dinaikkan, kemudian mendapat profit. Ini pernah diungkapkan Nadiem Makarim di salah satu kesempatan. Tapi ternyata persaingan membuat perusahaan start up terpaksa terus memberikan diskon dan promo supaya customer bertahan menggunakan aplikasinya. Padahal kenyataannya, para customer menggunakan semua aplikasi, dan memilih aplikasi mana yang memberikan promo yang menguntungkan. Ternyata tidak ada kesetiaan di antara customer dengan aplikasinya.
Dengan situasi bahwa untuk mendapatkan dividen sangat sulit karena model bakar uang harus terus dilakukan, dan ternyata Ketika IPO pun capital gain bakal sulit terjadi, inilah mungkin yang menyebabkan para VC sekarang mulai mengerem investasinya di start up. Karena ternyata bisnis start up masih terlalu jauh dari kata prospektif. Dan karena para start up masih terus mengandalkan uang dari investor, maka efisiensi akhirnya terpaksa harus dilakukan. Pendarahan harus segera distop, supaya uangnya bisa segera didapat dari operasi bisnisnya, bukan dari hasil investasi. Dan yang paling mudah untuk dilakukan adalah dengan melakukan PHK karyawan.
Lesson learned
Dari cerita start up ini, akhirnya saya bisa belajar banyak. Pertama, pastikan bisnis modelnya bisa segera profit dalam waktu dekat, walaupun mungkin itu kecil. Usahakan bahwa asset growth perusahaan di-drive bukan dari funding (dari investor), tapi dari operation kita. Inilah tanda bahwa perusahaan adalah perusahaan yang mandiri. Kalau Bahasa orde barunya adalah berdikari, berdiri di atas kaki sendiri. Walaupun perusahaan bisa memberikan layanan digital yang inovatif, tapi predatory pricing yang kuno ternyata bukan jawaban yang tepat. Memang challenge nya di Indonesia yang orangnya short term thinking dan cenderung price sensitive memancing kita untuk melakukan predatory pricing. Untuk itulah start small dan secepat mungkin mendapatkan profit sehingga bisnis model kita memang proven make money. Jangan tergoda untuk mendapatkan growth yang diakselerasi, karena ini berpotensi bubble burst.
Yang kedua, bagi karyawan di perusahaan start up, memang cool bisa bekerja di perusahaan tersebut. Tapi lebih baik lagi jika kita paham betul bagaimana kesehatan perusahaan. Ini bisa dilihat apakah operation model perusahaan dapat meng-enable perusahaan tersebut bisa mandiri. Memang bekerja di perusahaan start up memiliki risiko yang sangat besar, karena sebagian besar start up akan gagal. Nah, dengan situasi tersebut maka selama bekerja di perusahaan tersebut, ambil ilmu sebanyak-banyaknya, buat prestasi sekeren mungkin, sehingga ketika badai PHK menerpa perusahaan start up kamu, kamu udah siap terbang ke perusahaan lain. Walaupun start up bubble burst menurut saya sudah di depan mata, perusahaan-perusahaan korporasi mapan pun sedang melakukan digitalisasi, sehingga untuk kamu yang bidangnya IT, nggak akan kehilangan lapangan pekerjaan, apalagi kamu punya skill dan prestasi yang keren.
Yang ketiga, untuk para HR di perusahaan, please be mindful with the growth. Ketika perusahaan grow, jumlah orang dipaksa terus bertambah, tanpa jelas Analisa organisasinya. Efeknya, inefisiensi terjadi. Saya sudah melihat perusahaan yang terpaksa harus layoff karena banyak jabatan yang sesungguhnya nggak perlu ada tapi dibuat for the sake of growth. Memang start up ingin bergerak cepat, tapi itu bukan berarti harus terburu-buru. Di sisi lain, dengan badai PHK di depan mata, buat HR corporate yang biasanya susah mendapatkan talent, ini mungkin jadi peluang untuk mendapatkan talent-talent berpengalaman.

Tinggalkan Balasan