Saya sudah lama benencana untuk menulis tentang “selesai dengan diri sendiri”. Saya ingin share ini karena dalam sebuah kesempatan diskusi dengan seorang sahabat, saya bilang bahwa untuk menjadi pemimpin sejati kita harus selesai dengan diri sendiri terlebih dahulu. Di dalam diskusi sebuah WAG pun saya lontarkan pemikiran tersebut, dan ada yang mendebat bahwa orang tidak akan pernah selesai dengan dirinya sendiri. Kalau sudah selesai artinya sudah berhenti belajar katanya. Nah, makanya saya jadi terpicu untuk menuliskan pemikiran saya tentang selesai dengan diri sendiri. Karena hari ini adalah hari kemerdekaan ke 77 tahun Indonesia, maka saya mengubahnya menjadi “merdeka dari diri sendiri”.
Lho… kok merdeka dari diri sendiri? Apakah kita terjajah oleh diri sendiri? Di dalam agama saya, ada hadist:
Orang yang kuat bukanlah orang yang menang dalam perdebatan, perkelahian, ataupun pertempuran. Tapi orang yang kuat adalah orang bisa, sanggup, dan mampu mengendalikan dirinya sendiri ketika dia sedang marah,” .
(HR. Bukhari)
Setiap manusia pasti fitrahnya orang memang ada nafsu dan ada juga kebaikan (takwa). Kalau di komik atau kartun, kamu pasti suka lihat ketika ada seorang yang bingung mau memilih mana di antara kebaikan dan kejahatan, ada dua pembisik: malaikat dan setan. Malaikat mengarahkan kita untuk melakukan kebaikan, sementara setan selalu membisikkan kita untuk melakukan kebatilan dan kejahatan. Nah, kamu lebih cenderung mengikuti yang mana?
Saya yakin yang pembaca di sini adalah orang-orang yang selalu untuk berusaha melakukan kebaikan. Tapi memang setan tidak pernah puas menyesatkan manusia. Ada saja kejahatan kecil yang dibisikkan nya kepada kita, minimal mencegah kita untuk melakukan kebaikan. Tapi balik lagi, kalo begitu selesai dengan diri sendiri itu apa sih?
Pengertian Selesai Dengan Diri Sendiri
Secara definisi kita bisa dapatkan dari mbah google sebagai berikut:
Orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri, artinya sudah membereskan permasalahan hidupnya lalu mulai mengabdikan dirinya untuk orang lain.
Dari quora
Jadi, orang yang selesai dengan dirinya sendiri itu orang-orang yang sudah selesai masalah dalam kehidupannya. Nah kalau melihat definisi ini, artinya pasti orang tidak akan selesai dengan dirinya sendiri donk ya? Kan masalah dalam hidup itu pasti datang dan pergi. Kalau melihat dalam beberapa referensi yang mungkin belum bisa dipertanggungjawabkan, masalah yang dimaksud di sini adalah masalah sepele yang seharusnya bukan masalah. Saya memang sering berkata: masalah terbesar manusia adalah bagaimana menyikapi masalah itu sendiri. Ada masalah yang memang harus diselesaikan tapi tidak terlihat sehingga tidak diselesaikan, dan ada juga “masalah” atau persoalan yang seharusnya sepele tapi malah dibesar-besarkan. Jadi kuncinya adalah problem definition itu sendiri.
Ego kita sudah kenyang
Jadi, masalah apa yang harus sudah selesai? Kalo definisi saya sendiri, selesai dengan diri sendiri itu artinya nafsu kita sudah kenyang dan cukup. Ego kita sudah terpuaskan, sehingga nggak “nagih” lagi. Tapi mas, ego itu kan nggak pernah puas ya? Betul, tapi kalo kita bisa mengendalikannya, ego kita bisa kenyang tuh. Contoh ya, coba deh temen-temen mengendalikan makan, kurangi makan sedikit demi sedikit. Ketika kita melakukan itu, perut kita pun akan adaptasi dan akhirnya mengurangi kapasitasnya. Efeknya? Kita jadi lebih gampang kenyang lho. Tubuh pun beradaptasi membaca bahwa asupan kita sekian kalori, maka “minta” nya pun nggak banyak. Sebaliknya, kalo kita makannya banyak terus, perut kita terus membuncit, kapasitasnya bertambah. Tubuh kita semakin gemuk, kebutuhan kalori pun semakin meningkat, efeknya makan kita pun semakin banyak.
Kebayang nggak orang yang hidupnya dikendalikan oleh nafsu? Coba lihat orang yang stress berat karena nggak pernah puas dengan pencapaiannya sendiri. Selalu ingin lebih dan lebih, tidak ikhlas dan puas dengan kondisi yang ada. Ketika nafsunya tersenggol, emosi tidak terkendali, amarah memuncak, atau kesedihan mendera. Capek nggak sih?
Jadi, orang yang sudah bisa selesai dengan sendirinya adalah orang yang mampu mengendalikan egonya. Dia mampu mengendalikan nafsunya. Ini bukan berarti menghilangkan ya! Karena nafsu itu sudah inherent dalam kehidupan kita. We have to live with it. Nafsu dalam kadar yang cukup kita butuhkan lho, karena motivasi untuk berkembang juga dapat energinya dari nafsu kita.
Bebas dari takut akan penilaian orang
Kalo kamu bertindak berdasarkan hanya dari penilaian orang, itu artinya kamu belum selesai dengan diri kamu sendiri. Kamu masih membutuhkan pengakuan dari orang. Padahal yang terpenting adalah tindakan kita harusnya didasari oleh prinsip hidup lho, bukan dari pendapat orang. Mungkin temen-temen sering dengar cerita seorang ayah dan anaknya yang naik keledai kan ya? Nggak usah saya ceritain lagi deh ya! Intinya apapun yang kita lakukan pasti akan mendapatkan penilaian dari orang lain, baik itu pujian maupun celaan.
Penilaian negatif akan apa yang kamu lakukan itu adalah sebuah keniscayaan, walaupun yang kamu lakukan itu adalah sebuah kebenaran. Kebayang nggak kalo kamu jadi bapak dengan anak dan keledai di cerita sebelumnya. Berusaha memuaskan semua orang adalah sebuah hal yang tidak mungkin. Kalaupun “mungkin”, ada yang dikorbankan, yaitu kamu sendiri, atau kebenaran itu sendiri. Kita bisa memuaskan “semua” orang dengan cara melakukan banyak kebohongan. Percaya deh, semua orang tidak mungkin suka sama kita, ada aja yang nggak suka. Capek banget berusaha memuaskan semua orang, karena ini adalah upaya yang tidak mungkin.
Jadi, orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri adalah orang yang bisa melakukan tindakan berdasarkan prinsip kehidupan, atau kebenaran hakiki. Bisa bertindak dan berkata benar, dengan cara yang baik tentunya, walaupun berisiko dipandang tidak baik oleh sebagian orang. Bagian ini pasti susah, tapi lebih susah lagi kalo kita berusaha disukai oleh semua orang.
Tidak lagi membutuhkan penghargaan
Kalo kamu masih sedih ketika kamu melakukan sesuatu tapi tidak mendapatkan apresiasi, itu artinya kamu juga belum selesai dengan diri kamu sendiri. Memang bagian ini mirip sekali dengan yang saya tulis di atas. Tapi di sini konteksnya lebih mencari penghargaan atau pujian. Sementara kalau yang di atas melakukan sesuatu karena takut dianggap kurang baik oleh orang lain.
Memang semua dari kita melakukan segala sesuatu karena ada motif. Coba deh direnungkan, apa yang men-drive kamu melakukan sesuatu. Misal: saya pengen kaya. Kenapa pengen kaya? Apakah kamu menikmati kekayaan tersebut dengan melihat angka rekening tabungan tersus meningkat? Atau dengan kekayaan tersebut bisa membeli sesuatu? Kenapa ingin beli sesuatu? Karena ingin menikmati sesuatu tersebut? Atau ingin dipuji karena memiliki sesuatu tersebut?
Haus akan pujian juga pekerjaan yang melelahkan teman-teman. Seperti yang di atas, memuaskan semua orang itu nggak mungkin terjadi. Kalo kamu melakukan sesuatu terus nggak dipuji atau diapresiasi, dan kemudian kamu merasa sedih, marah, dongkol, itu rasanya capek nggak sih? Capeknya dua kali: capek karena melakukan sesuatu, dan capek karena dongkol.
Jadi, selesai dengan diri sendiri itu adalah ikhlas dalam melakukan sesuatu. Ikhlas di sini artinya bersih niatnya. Tidak ada harapan mendapatkan imbalan selain kepada-Nya. Eh, artinya kalo kerja nggak dibayar boleh donk? Hmmm… bukan begitu juga. Ini beda ya dengan bertransaksi bisnis. Kalo dalam konteks pekerjaan, kita memang melakukan pekerjaan kita dan kita mendapatkan gaji atas tugas kita tersebut. Yang saya point di sini adalah, ketika kita melakukan pekerjaan tersebut, dan misalnya pekerjaan itu lebih baik dari yang diminta, tapi kita tidak mendapatkan pujian, kalo kita ikhlas, kita akan tetap merasa tenang kok. Yang penting kita terus melakukan yang terbaik, rejeki sudah ditentukan oleh-Nya.
Bisa seimbang antra mementingkan diri sendiri dengan orang lain.
Kalo kamu masih terlalu mementingkan diri sendiri ketimbang kepentingan orang lain, artinya kamu juga masih belum selesai dengan diri sendiri. Kita sadar bahwa kita hidup tidak sendiri. Kita membutuhkan orang lain, dan demikian pula sebaliknya. Ada kalanya kepentingan diri kita dan orang lain bertentangan. Nah, ketika ternyata memang kepentingan orang lain atau organisasi harus diutamakan, kira-kira kamu akan memilih yang mana?
Orang yang terlalu mementingkan diri sendiri disebut sebagai orang yang egois (nah ego lagi nih). Kalo orang yang egois, ini bertentangan dengan yang di atas, nggak peduli dengan kata orang, yang penting kepentingan diri sendiri terpenuhi. Kepentingan di sini bukan hanya kebutuhan, tapi juga pendapat, ide dsb. Kebayang nggak sih kalo kamu berusaha agar hanya ide kamu yang diterima. Atau kalau ada perdebatan dan kalah, kamu merasa hancur karena kamu meletakkan harga dirimu di dalam ide kamu? Terus terang capek juga sih kalo kita terlalu mendahulukan diri sendiri, karena sudah jelas diri sendiri belum tentu selalu harus didahulukan.
Tapi juga sebaliknya ya temen-temen. Jangan juga terlalu mengutamakan orang lain, sehingga diri sendiri selalu dikorbankan. Dalam sebuah obrolan (baca: group coaching), ternyata pembahasannya cukup berat. Ada seorang sahabat yang ternyata terlalu mementingkan orang lain, sehingga diri sendirinya “kelaparan”. Efeknya? Secara kejiwaan jadi tidak sehat juga lho!
Jadi penting di sini untuk dipahami bahwa orang yang selesai dengan diri sendiri itu bise mem-balance, antara memenuhi kepentingan diri dengan kepentingan orang lain/organisasi. Dan itu memang perlu kebijaksanaan, ketenangan. Kalau kita tenang dan jernih memandang sebuah masalah, apalagi ada konflik kepentingan antara diri dan orang lain, insya Allah kita akan lebih tenang ketika kita “terpaksa” mengalah dulu, karena kita tahu ada kepentingan yang lebih besar yang harus dipenuhi terlebih dahulu.
Kenapa harus selesai dengan diri sendiri?
Kembali ke diskusi di awal tulisan ini. Bahwa menurut saya seorang pemimpin sejati seharusnya sudah selesai dengan dirinya sendiri. Memimpin artinya ada orang lain yang dipimpin. Dan itu artinya akan ada kepentingan orang banyak yang harus dipenuhi. Coba refleksi, kamu mau nggak dipimpin sama orang yang egois?
Saya juga percaya kalo untuk bisa memimpin orang lain, kita perlu bisa memimpin diri kita sendiri terlebih dahulu. Ini juga pas banget dengan quotes saya di awal tulisan ini. Orang yang kuat adalah orang yang bisa mengendalikan amarahnya, artinya dia bisa mengalahkan dirinya sendiri. Sudah menang terhadap dirinya sendiri. Itulah hakikatnya sebelum memimpin orang lain, kita harus bisa memimpin diri sendiri, selesai dengan diri sendiri. Saya pernah membuat videonya di sini:
Gimana caranya bisa selesai dengan diri sendiri?
Apresiasi diri
Agar ego kita kenyang. Dia harus dapat makanan yang mencukupi. Jadi memang sebelum kamu bisa memenuhi kebutuhan orang lain, ego kamu harus kenyang dulu. Wah, kok jadi kayak egois ya? Bukan begitu! Apresiasi di sini artinya kita harus puas dulu dengan apa yang kita lakukan. Harga diri sendiri. Kalau kita puas dengan apa yang kita lakukan, dan kita sudah mengapresiasi diri, masih perlu diapresiasi orang lain?
Bersyukur
Ini juga kunci sukses untuk bisa selesai dengan diri sendiri. Bersyukur juga salah satu bentuk apresiasi, tapi kepada yang memberi rejeki, kepada-Nya. Kita harus sadar bahwa kita adalah makhluk yang lemah dan sangat bergantung kepada-Nya. Coba pikirkan, hal apa yang kamu benar-benar bisa kendalikan secara penuh di dalam kehidupan ini? Apakah tindakan kamu? Tentu bukan! Karena tindakan juga tergantung dengan lingkungan. Apakah pikiran kamu? Yakin bisa mengendalikan?
Dengan paham bahwa kita tidak bisa mengendalikan apapun, kita akan mampu mensyukuri apa yang terjadi dengan kita. Dengan kita bersyukur, kita akan berfokus pada hal-hal yang baik yang terjadi pada hidup kita. Dan percaya lah. Hal ajaib akan terjadi: kamu akan mendapatkan lebih banyak hal baik mendatangi. Dan kamu juga akhirnya bisa mengendalikan pikiran kamu lho! Tapi balik lagi ya… itu karena anugerah-Nya lah kamu bisa mendapatkan hal tersebut.
Berhenti membandingkan & berkompetisi
Seorang sahabat pernah bilang kepada saya bahwa salah satu indikasi fixed mindset adalah comparing. Dan kita sebagai manusia sering melakukan pembandingan, apalagi saya sebagai orang logis yang kompetitif. Pengennya menang terus. Ada pemikian, “kok dia bisa dapet itu saya nggak?”, dst..dst… Nah supaya kita bisa tenang, ya jangan membandingkan, dan kembali ke point di atas, fokus pada bersyukur. Atau kalau membandingkan, bandingkan dengan yang di bawah kita, supaya kita juga bersyukur.
Kompetisi kalau kadarnya pas, sangat dibutuhkan sebagai motivasi. Kebayang kalo olah raga nggak ada kompetisi, jadi nya nggak seru kan ya. Makanya, untuk kamu yang jiwanya kompetitif seperti saya, jadikan kompetisi sebagai permainan, hal yang bikin seru aja. Kalo kalah, jadikan pembelajaran, bikin jadi bahan lelucon saja. Dengan demikian hidup kita akan tenang lho.
Bahagialah dengan memberi
Saya pernah menonton sebuah video di youtube dulu, bahwa ternyata ada penelitian yang mengungkap bahwa rahasia dari kebahagiaan bukanlah harta yang banyak, bukan istri yang cantik, bukan teman yang banyak, tapi justru ada pada saat memberi. Dalam sebuah tulisan di “The Secret to Happiness Is Helping Others” oleh Jenny Santi, ternyata altruism itu tertanam di dalam otak kita, sudah terprogram. Dan ini terkait dengan kebahagiaan dan juga kesehatan kita. Coba deh kamu eksperimen. Bayangin aja dulu, di dompet ada uang 150 ribu. Terus di pinggir jalan ada ibu-ibu lusuh sedang jalan kelihatan kesusahan. Kamu kasih uang yang 100 ribu, terus bayangkan wajah bahagianya, apalagi ibu tersebut berterima kasih banyak dan mendoakan kamu supaya sukses dsb. Apa perasaan kamu? Saya sambil menulis ini saja sambil membayangkan, saya bisa merasakan bahagia lho. Bagaimana kalo itu bener-bener dilakukan?
Beneran deh, dengan memberi, dan kemudian mengikhlaskannya ya, tanpa berharap pujian dsb, itu bener-bener membahagiakan lho. Dengan memberi, jiwa kita rasanya terpenuhi, ego pun tetiba merasa kenyang. Coba aja deh! Makanya sejak jaman dahulu kala ada pepatah cina yang menyatakan:
If you want happiness for an hour, take a nap. If you want happiness for a day, go fishing. If you want happiness for a year, inherit a fortune. If you want happiness for a lifetime, help somebody
Chinese Proverb

Tinggalkan Balasan