Tulisan ini terinspirasi oleh kejadian yang menimpa seorang ayah yang ditabrak tetangganya sendiri hingga meninggal di daerah Cakung. Kejadian itu terpicu oleh kejadian yang sesungguhnya sepele, senggolan di jalan. Keduanya tersulut emosi, sehingga sang korban (katanya) mematahkan spion mobil yang akhirnya menjadi eksekutor hidupnya. Saya dalam cerita ini turut berduka cita dengan keluarga yang ditinggalkan, apalagi katanya meninggalkan 4 anak yang masih kecil-kecil. Tapi dari cerita ini, mari kita ambil hikmahnya sehingga kita semua bisa menjalani kehidupan dengan lebih baik lagi.
Kejadian itu diakibatkan oleh tidak mampunya orang dalam mengelola emosi ketika menghadapi “masalah”. Kenapa saya menggunakan tanda “? Nanti akan kita bahas! Kita sudah sering mendengar beberapa kejadian “konyol”, entah itu di jalanan, termasuk juga anak pejabat yang menganiaya anak di bawah umur, yang mengakibatkan ayahnya jadi terbongkar kebusukannya, sehingga ikut menggunakan rompi oranye. Sudah cukup banyak kejadian yang sesungguhnya tidak perlu terjadi, yang memakan korban, baik yang menjadi korbannya, maupun pelaku, bahkan keluarganya. Itu semua karena apa? Karena orang tidak bisa mengontrol perilakunya ketika menghadapi “masalah”.
Apa itu masalah? Apa bedanya dengan persoalan? Di sini kita mencoba memahami terlebih dahulu, apa itu masalah, dan apa bedanya dengan persoalan. Temen-temen mungkin baru ngeh, kalo ada dua istilah ini. Keduanya memiliki kesamaan adanya gap antara apa yang kita harapkan dengan apa kenyataannya. Harapan kita tidak macet, kenyataannya macet. Itu masalah apa persoalan? Nah, kalau kita dalami lagi, masalah itu adalah gap yang harus segera diselesaikan. Apa yang harus diselesaikan? Kalau menurut definisi saya, yang harus segera diselesaikan adalah gap antara kenyataan dengan harapan yang terkait dengan tujuan kita. Kalau kembali dengan “masalah” macet tadi, pertanyaannya, apakah jalan yang lancar adalah tujuan kita? Sudah jelas bukan. Kalau hanya mengakibatkan kita tidak nyaman karena macet, itu adalah persoalan, bukan masalah. Nah, kalau kita punya tujuan mencapai kantor jam 7:30 tapi karena macet kita berpotensi tidak mencapai tepat waktu, macet tersebut adalah penyebab masalah kita.
Terkait masalah ini, saya teringat ketika saya menjalani training heart focus di tahun 2010 lalu. Saat itu saya diberikan waktu kurang lebih 1 jam untuk menuliskan apa masalah yang kamu hadapi (apapun itu) yang menyebabkan kamu marah, sedih, kecewa, pokoknya memancing emosi yang tidak nyaman. Saya waktu itu berfikir bahwa waktu tersebut pastilah nggak cukup untuk menuliskan masalah yang saya hadapi, seperti atasan yang kurang supportif, jalanan macet, bau sampah, dsb. Tapi menariknya, dalam waktu 20 menit, saya sudah mulai bingung mau nulis apa lagi. Karena kayaknya masalah saya yang “ribuan” itu ternyata sudah mulai menipis untuk saya tuliskan. Hikmahnya adalah, ternyata masalah saya itu nggak sebanyak itu. Apalagi kalau kita kaitkan dengan definisi masalah yang saya tuliskan di atas, akhirnya yang benar-benar menjadi masalah itu akan mengerucut menjadi beberapa saja, sisanya sebetulnya hanya persoalan semata, yang nggak harus dipedulikan, apalagi diselesaikan. Bisa itu hanya bagian dari circle of concern (lingkar kepedulian) saya, bukan circle of control (lingkar pengaruh) saya.
Kembali ketika kita menghadapi masalah atau persoalan, bagaimana kita bisa mengatasinya dengan benar. Yes, apapun masalah dan persoalannya, pasti perasaan yang muncul adalah perasaan tidak nyaman, apakah itu marah, sedih, kecewa, malu dsb. Seperti yang saya pelajari di training heart focus, kuncinya simple: terima perasaan tersebut sebagai bagian dari diri kita apa adanya. Dulu saya ketika menghadapi jalanan (pahamilah bahwa jalanan di Jakarta adalah ujian paripurna terhadap kesabaran dan keikhlasan kita), saya mudah terpancing emosi. Kalau ada mepet, yang motong jalan dsb, saya bisa kejar orang itu dan pepet balik, atau minimal saya bayar dengan makian. Sekarang, emosi marah saya tetap ada, karena memang saya adalah basicnya pemarah. Tapi, ketika marah itu kita sadar dan terima, dengan segera logika mengajak saya berfikir, apa manfaatnya menghadapi “musuh” di jalanan. Sebenernya apa tujuan utama kamu? Apa ruginya kalau kamu kejar orang itu, pepet, dan pukulin pake stang stir (memang ini khayalan saya sejak lama). Cerita road rage yang berujung pada kerugian membuat saya bertindak dengan terkendali, dan tetap berfokus kepada tujuan utama. Buat saya, marah itu boleh, yang nggak boleh itu marah-marah. Seorang sahabat pernah memberi nasihat kepada saya, bahwa bukan masalahnya yang menjadi masalah, tapi response kita yang terpending. Inilah yang disebut sebagai proaktif. Yaitu memilih response yang tepat terhadap stimulus berupa persoalan atau masalah. Kita tidak bisa menyalahkan emosi yang muncul. Yang salah adalah response yang kita lakukan jika merugikan orang lain dan diri sendiri.
Terakhir, supaya kamu bisa menghadapi persoalan atau masalah secara proporsinal, yang terpenting adalah paham dulu apa tujuan kamu, hidupmu, keluargamu, atau organisasimu. Dengan memahami ini, kita akan bisa memilah mana yang bener-bener masalah, mana yang hanya persoalan. Bagian memahami dan memiliki tujuan ini sangat esensial. Memang sulit, tapi worth to try lho!


Tinggalkan komentar