Mengawali hari
Pagi yang cerah mewarnai udara segar kota wisata hari ini. Menemani sang istri yang sedang mempersiapkan kelahiran pemimpin masa depan dengan jalan-jalan di seputaran kompleks adalah saat yang ditunggu- tunggu.
Melihat rumah-rumah besar di jalanan yang kami tempuh membuatku berhayal, memimpikan dan mendambakan rumah sebesar itu.
Kami berdua saat ini tinggal di rumah yang relatif mungil dibandingkan rumah-rumah tersbut. Tapi untuk sebagian besar bangsa ini, memiliki rumah sebesar 59 m2 di tanah seluas 105 m2 adalah sebuah kemewahan.
Tapi “masalah” mulai terasa ketika kami akan kedatangan anggota baru. Kami berdua adalah karyawan yang harus menempuh kurang lebih 4 jam sehari di dalam perjalanan. Meminta istri tinggal di rumah untuk menjaga si buah hati juga berat dengan alasan klasik: ekonomi.
Akhirnya kami memutuskan untuk mempekerjakan asisten rumah tangga. Masalah mulai terasa karena kami juga berharap agar Ibu kami juga tinggal di sini karena tidak mungkin meninggalkan anak kami di tangan orang yang sebelumnya belum pernah kami kenal sebelumnya. Lalu di mana sang asisten harus tidur? Membuat kamar lagi nyaris tidak memungkinkan karena keterbatasan lahan + keterbatasan dana. Menyatukan kamar dengan Ibu juga agak berat untuk dipilih. Lalu? Kami hanya bisa berharap agar kami mendapatkan rejeki untuk mampu membeli rumah dengan kamar 3 + 1 kamar pembantu. Apakah “masalah” ini akan tuntas setelah kami memiliki rumah sebesar itu?
Masalah, ternyata tidak akan pernah tuntas, apapun yang kita miliki saat ini. Dulu ketika nge-kos, saya mendambakan memiliki rumah. Dan saya mati2an untuk mendapatkan rumah yang saya tempati ini. Setelah memiliki rumah ini, dan akhirnya menikah, “masalah” baru pun muncul seperti yang saya sebutkan di atas. Kenapa saya pake tanda kutip? Karena sesungguhnya “masalah” itu bukanlah masalah hingga kita mempermasalahkannya. Berapa banyak di dunia ini yg tinggal di rumah petak yg jauh lebih kecil dari rumah kami dengan anggota keluarga yg jauh lebih banyak? Kakak saya yg rumahnya relatif lebih kecil juga tidak mempermasalahkan adanya 3 anaknya + seorang pembantu di rumahnya.
Hasil training “heart focus” memberikan hikmah kepada saya bahwa masalah itu tidak ada di luar sana. Adanya justru di hati kita ini. Jika ada “masalah”, kuncinya hanya jujur dengan diri sendiri, dengan cara mengakui, merasakan dan melepaskannya. Saat ini saya masih struggling untuk “masalah” saya tersebut. Saya masih berupaya untuk melepaskan “masalah” tersebut dengan rasa syukur yang terus menerus ditanam di hati ini. Caranya? Saya keluar rumah, kemudian memandangi rumah sederhana saya dan menyadari betapa saya dulu memperjuangkan rumah ini dan beruntung bisa memilikinya. Apakah “masalah” itu hilang? So far saya bisa melepaskannya. Namun terkadang masalah tersebut muncul lagi. Solusinya? Ya yang tadi itu…
Posted with WordPress for BlackBerry.
Tinggalkan Balasan