Knowledge is power but character is more. Motto SMA saya tersebut tetiba terngiang di pikiran saya tadi pagi, entah kenapa. Saat itu saya berfikir bahwa kunci keberhasilan bisa jadi adalah knowledge atau pengetahuan. Tapi untuk memiliki power sejati, pengetahuan saja tidak cukup. Dunia rusak karena banyak orang pinter yang punya banyak pengetahuan tapi dikuasai oleh ketamakan dan kerakusan. Jadi pengetahuan tanpa karakter akan merusak, dan power itu bukanlah power sejati.
Tulisan ini tidak akan mengarah ke pembahasan karakter. Asumsinya adalah karakter sudah dimiliki. Pertanyaannnya adalah: apakah memiliki pengetahuan akan menjadi jaminan kesuksesan? Ada yang bilang bahwa knowledge is not power, the action with the knowledge is power. Jadi tahu saja tidak cukup, harus ada action yang menyertainya.
Knowing is not enough, we must apply
Johann Wolfgang von Goethe
willing is not enough, we must do
Sekarang apa hubungannya dengan CCC di atas? CCC di sini bukanlah unit kerja di mana saya bertanggung jawab di kantor. CCC di sini adalah Concept, Content, Context.
Concept
Ilmu yang kita pelajari di sekolah atau training adalah Concept. Ada juga yang bilang sebagai framework. Ini adalah pengetahuan standard berdasarkan pengalaman orang di jaman dahulu. Pemahaman akan concept sangat penting untuk orang-orang yang tidak memiliki bakat. Seperti yang saya selalu bilang, karena saya paham saya itu tidak berbakat, maka saya belajar banyak hal lebih keras lagi.
Misal, jika kamu tidak berbakat untuk berbisnis, maka penting bagi kamu untuk belajar konsep Business Model,. Di sana kamu akan belajar apa itu bisnis. Tapi kalo kamu sudah hidup di keluarga entrepreneur, yang terekspose business sehari-hari, bisa jadi kamu sudah mendapatkan ilmu tersebut dari rumah. Jadi mungkin nggak perlu lagi belajar tentang bisnis. Karena logika bisnis sudah tertanam di otak mereka.
Biasanya, ilmu yang kita peroleh dari concept membantu kita dalam berfikir ketika menghadapi masalah. Tapi, concept hanyalah sekedar knowledge jika kita tidak memiliki 2C lainnya. Ibaratnya, kalau kamu paham konsep bisnis, tapi tidak paham 2C lainnya, maka ilmu tersebut hanya berguna untuk lulus kuliah atau training saja.
Content
Faktor kedua yang dibutuhkan untuk sukses dalam memecahkan masalah adalah faktor content, Ini adalah pengetahuan dan data terupdate yang kita miliki. Seperti concept di atas, content juga merupakan knowledge. Bedanya adalah knowledge di sini adalah data dan faktanya, bukan frameworknya.
Contohnya adalah, jika dalam ilmu stratejik kita memahami concept Macro Analysis PESTLE, maka content yang dikaitkan akan hal ini adalah data pertumbuhan ekonomi saat ini, termasuk juga proyeksi pertumbuhan GDP yang dikeluarkan oleh IMF.
Ketika kita hanya memahami konsep PESTLE saja, maka kitahanya bisa bercerita apa itu PESTLE, bagaimana itu digunakan. Terus so what? Ketika kita bisa menjelaskan bahwa kondisi Ekonomi kita saat ini dan di saat mendatang adalah terjadi pertumbuhan 3%, maka kita selangkah lebih maju lagi. Tapi tentu saja ini tidak cukup. Memahami pertumbuhan ekonomi 3%, terus kenapa? Untuk itu kita membutuhkan C yang ketiga, yaitu context,.
Context
Konteks di sini adalah hal yang terkait dengan kepentingan kita saat ini juga. Di sinilah muncul kondisi yang sesungguhnya, apakah masalah, risiko, atau opportunity BAGI KITA. Coba kita lihat dengan contoh di atas. Jika terjadi pertumbuhan ekonomi 3% di tahun 2023 nanti, apa impactnya bagi kita atau perusahaan kita? Apakah ada risiko atau opportunity? Balik lagi karena ini kontekstual, setiap orang akan menyikapi berbeda atas sebuah data atau pengetahuan yang sama. Di sini lah pembedanya.
Jangan berangkat dari konsep
Baru-baru ini saya mendapatkan nasihat bahwa kita jangan selalu berangkat dari konsep. Tapi berangkatlah dari masalah yang dihadapi. Nasihat ini sangat align dengan tulisan ini, bahwa konsep tidak ada gunanya jika konteksnya tidak sesuai. Ini juga align dengan tulisan saya beberapa tahun yang lalu, bahwa kita harus memahami konteks, jangan memaksakan untuk menerapkan ide tertentu di sini.
Saya juga teringat beberapa tahun yang lalu, ketika salah satu tim saya bilang kepada saya: “mas, kita harus segera menerapkan balanced scorecard di perusahaan kita”. Dia memang baru saja mengikuti training BSC masterclass, sehingga semangatnya jadi semangat 45. Padahal maksud saya waktu itu mengikutkan dia di training tersebut agar dapat menjadi HR yang paham konsep bisnis, bukan untuk menerapkan BSC di perusahaan.
Waktu itu saya langsung bertanya, “emang issue nya apa?” . “Kenapa kita harus pakai balanced scorecard?”. Nah akhirnya tim saya tersebut mencoba mencari tahu, apa issue yang terjadi di sana. Akhirnya didapatkan issue alignment antar bagian yang tidak terjadi. Demikian pula ada unit kerja yang insiatifnya nggak nyambung dengan strategi di atas. Kemudian saya bertanya lagi, memang BSC bisa menjawab issue tersebut? Untuk itu kita harus bisa memahami filosofi dari konsep yang kita pelajari. Filosofi dari balanced scorecard menurut saya adalah alignment, baik vertikal dan horizontal. Nah, jika memang itu issue nya (context), makan konsep BSC menjadi tepat untuk diterapkan.
Jadi mana dulu? Context, Content, atau Concept dulu?
Buat saya kita sebisa mungkin belajar sebanyak mungkin konsep. Sekolahlah dan baca buku sebanyak mungkin untuk bisa memandang dunia dengan lebih lengkap. Ingat bahwa konsep membantu pola pikir kita dalam melihat segala sesuatu. Yang kedua, teruslah update dengan data dan fakta, kaitkan dengan konsep yang kita miliki. Dan yang terakhir, pahami kesulitan, masalah, peluang, dan risiko yang kita hadapi. Jika konsep yang kita miliki tidak dapat membantu masalah yang kita hadapi (context), maka saatnya kita belajar konsep baru.
Saya sangat percaya, bahwa nasihat “ilmu sebelum amal” itu adalah yang terbaik. Tapi balik lagi, adab sebelum ilmu tetap harus dijaga. Knowledge is power, but character is more. But most powerful one is actionable knowledge.
Tinggalkan Balasan